INTIMNEWS, PALANGKA RAYA – Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya (BEM FH UPR) menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal disampaikan Kepala Badan Aksi dan Propaganda BEM FH UPR, Agung Sesa saat Kumham Goes To Campus yang digelar Kemenkumham di Aula Rahan lantai II gedung Rektorat UPR, Rabu 26 Oktober 2022.
Dalam sosialisasi ini BEM FH UPR melalui Tim Kajian Strategis dan Advokasi-nya menyampaikan kritikan dan dengan tegas tetap menolak Pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP. Hal ini sesuai dengan kajian yang mereka lakukan.
“Kami tetap menolak RKUHP karena di dalamnya terdapat beberapa pasal yang bermasalah di antaranya terkait penghinaan presiden pada pasal 217-220, Pasal Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara pasal 240-241, lalu terkait penyelenggaraan pawai, unjuk rasa atau demonstrasi pasal 256 yang berpotensi membatasi kebebasan mengemukakan pendapat dan kritik kepada pemerintah, belum lagi terkait kontrasepsi dan tindak pidana korupsi,” ujar Agung Sesa.
Hal sama juga ditegaskan Ketua BEM FH UPR, Gusti. Menurutnya masih ada beberapa pasal di RKUHP ini yang bermasalah, sehingga tidak perlu terburu-buru disahkan
“Sebagai contoh kita ambil pasal 217-220 terkait penghinaan presiden yang sebelumnya sudah diatur dalam KUHP pada pasal 134, 136 bis dan 137 yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda untuk menjaga harkat dan martabat raja atau ratu selaku simbol atau lambang negara,” ujarnya.
Menurut Gusti, ketika disesuaikan dengan negara Indonesia terdapat perubahan pada subjeknya menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Pasal ini kata dia, bahkan sudah diputus tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat MK pada putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006.
“Sebagaimana kita ketahui putusan MK ini bersifat final dan mengikat. Pasal ini seakan memberikan kedudukan hukum yang lebih tinggi kepada presiden dan wakilnya sehingga bertentangan dengan asas equality before the law (persamaan di hadapan hukum),” jelasnya.
Gusti menambahkan, pasal ini juga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena sifat subjektif dalam pasal ini. Menurut dia, tidak terdapat indikator konkret terkait apakah suatu pernyataan atau protes tersebut sebuah kritik atau penghinaan, maka dari itu pasal ini juga berpotensi menjadi pasal karet yang dapat menimbulkan multi tafsir atau interpretasi yang beragam.
“Jelas bagi kami bahwa pasal ini dapat membatasi kebebasan berekspresi yang pada dasarnya dijamin dalam UUD NRI 1945 tepatnya pada pasal 28E ayat (2) dan (3). Dari kajian yang telah kami lakukan dan rilis pada bulan Juli tersebut maka kami tetap menolak RKUHP karena masih ada pasal-pasal yang bermasalah dan perlu disempurnakan lagi” ujar Gusti.
Hadir sebagai nara sumber yang mengisi seminar tersebut, antara lain anggota Komisi III DPR RI, anggota tim pembahasaan RKUHP, staf ahli Menkumham bidang Politik dan Keamanan, dan juru bicara kunci, yaitu wakil menteri Hukum dan HAM RI.
Acara seminar ini diikuti oleh mahasiswa fakultas Hukum dan FISIP Universitas Palangka Raya serta diikuti oleh perwakilan mahasiswa Hukum IAIN dan mahasiswa STIH.
Dalam seminar ini, masing-masing narasumber memberikan penjelasan mengenai RKUHP. Seminar juga diselingi dengan sesi tanya jawab, setelahnya para narasumber memaparkan dan menjelaskan dari pertanyaan-pertanyaan yang telah diberikan oleh mahasiswa mengenai RKUHP.
Berakhirnya seminar ini, para narasumber mengharapkan sosialisasi yang telah dilaksanakan dapat tersampaikan melalui dialog publik, agar dapat mengetahui aspirasi maupun usulan mahasiswa untuk perbaikan dan penyempurnaan isi dari RKUHP.. (**)
Editor: Irga Fachreza