INTIMNEWS.COM, PANGKALAN BUN – Konflik Rusia-Ukraina yang berujung pada pecahnya perang kedua negara bisa berdampak pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Konflik ini langsung berdampak pada naiknya harga minyak dunia.
“Ini bisa dipahami mengingat Rusia merupakan produsen dan pengekspor minyak terbesar kedua dunia setelah Arab Saudi,” kata Anggota Komisi VII dari Fraksi Golkar Mukhtarudin.
Harga minyak mentah dunia kini melonjak. Melonjaknya harga minyak dunia ini tentu akan berpengaruh pada neraca perdagangan Indonesia karena kita banyak mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Konflik ini langsung berdampak pada naiknya harga minyak dunia. Harga minyak dunia jenis Brent bahkan mencetak rekor baru sejak 2014, tembus ke level US$ 105 per barel.
“Melonjaknya harga minyak dunia ini akan berpengaruh pada neraca perdagangan Indonesia, karena kita banyak mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,” terang Anggota Banggar DPR RI ini.
Lanjut Mukhtarudin, dengan melonjaknya harga minyak mentah dunia ini diyakini akan menjadi efek domino bagi sektor-sektor lain.
“Misalnya saja akan menjadi pemicu naiknya harga komoditas karena biaya pengiriman/logistik akan menjadi mahal. Kenaikan berbagai macam barang ini dipastikan akan mendorong laju inflasi,” ucap Mukhtarudin.
Menyikapi dinamika politik keamanan global di awal tahun 2022 ini, ia mengaku perang Rusia-Ukraina yang telah berlangsung beberapa hari ini, ternyata membawa dampak negatif terhadap Indonesia.
Pasalnya, menurut Mukhtarudin, kenaikan harga minyak mentah dunia yang mencetak rekor baru tembus ke level US$ 105 per barel itu sangat mempengaruhi APBN yang mana beban subsidi, khususnya pasokan BBM dan LPG akan meningkat dan bisa melebihi asumsi APBN tahun 2022.
“Defisit produksi minyak dan gas di dalam negeri, kenaikan harga minyak dunia ini tentu akan memukul keuangan negara APBN kita,” tandas Mukhtarudin, Rabu, (2/3/2022).
Naiknya harga minyak mentah dunia juga memicu kenaikan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP), tercatat menembus angka US$ 95,45 per barel.
Dengan harga ICP yang naik maka akan menciptakan gap yang cukup jauh antara asumsi ICP dalam APBN tahun 2022 yang dipatok sebesar US$ 63 per barel.
“Oleh karena itu dinamika ini harus terus monitoring dan diantisipasi dampaknya. Baik harga minyak, maupun harga LPG,” beber Mukhtarudin.
Mukhtarudin mengatakan yang perlu disikapi dan disiasati oleh pemerintah adalah pengaruhnya terhadap naiknya beban subsidi, khususnya BBM dan LPG juga meningkat dan melebihi asumsi APBN 2022.
Jadi, konflik perang Rusia- Ukraina, lanjut Mukhtarudin, akan memberikan pengaruh politik dan ekonomi yang mengharuskan pemerintah untuk mengkalkulasi ulang strategi kebijakan serta program pemulihan ekonomi dan reformasi struktural yang menjadi fokus pemerintah di tahun 2022.
Mukhtarudin berujar pendadakan strategis Ukraina ini harus terus dicermati untuk mengantisipasi dampaknya terhadap ekonomi Indonesia lebih lanjut.
“Jadi, saya kira konflik global ini kembali menyadarkan kita untuk selalu waspada dan siap untuk menghadapi pendadakan strategis,” imbuh Mukhtarudin.
Politisi Dapil Kalimantan Tengah ini mengatakan mitigasi-mitigasi struktural dan substantif komprehensif yang sudah dijalankan untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 memberikan pembelajaran yang penting untuk mengatasi pendadakan strategis.
“Kita harus melakukan navigasi kebijakan untuk mengatasi masalah goncangan penawaran (supply shock) yang antara lain ditandai dengan gejolak harga energi,” tandas Mukhtarudin.
Anggota Banggar DPR RI ini bilang salah satu pembelajaran utama dari pendadakan strategis pandemi Covid-19 dan perang di Ukraina adalah situasi politik keamanan dan ekonomi Indonesia sangat dipengaruhi oleh dinamika global.
“Karena kenaikan harga minyak dunia juga akan menyebabkan beban subsidi untuk pembelian minyak mentah semakin berat,” beber Mukhtarudin.
Diketahui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat subsidi energi pada Januari 2022 mencapai Rp10,2 triliun, membengkak lebih dari empat kali lipat bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Beban subsidi ini akan semakin meningkat manakala harga minyak mentah melonjak.
“Untuk itu, perumusan strategi kebijakan yang bersifat komprehensif, holistik, yang selalu mengandalkan sinergitas lintas sektor harus menjadi formula andalan untuk mengatasi pendadakan strategis,” pungkas Mukhtarudin.
Mesti begitu, Mukhtarudin berhadap agar Rusia dan Ukraina segera menemukan titik temu untuk menghentikan penggunaan kekerasan, dan menggunakan saluran diplomatik untuk memulihkan stabilitas dan perdamaian di Ukraina.
Penulis: Yusro
Editor: Andrian