INTIMNEWS.COM, PALANGKA RAYA – Banjir setinggi 2,5 meter merendam Kecamatan Kapuas Tengah, Pasak Telawang Kabupaten Kapuas dan Kecamatan Paku, Kabupaten Barito Timur. Menurut WALHI, ini adalah bukti nyata dampak dari krisis iklim, akan tetapi pemerintah tidak serius memperhatikan kondisi lingkungan hidup di Kalimantan Tengah.
WALHI Kalimantan Tengah menekankan kepada pemerintah agar serius dalam menangani kondisi krisis ekologi di Kalimantan Tengah. Setiap tahun bencana ekologis seperti banjir selalu terjadi berulang dan ini menjadi indikator nyata menurun dan rendahnya kualitas lingkungan hidup. Pemerintah harus memprioritaskan upaya untuk memulihkan kerusakan lingkungan dan melakukan audit lingkungan serta evaluasi terhadap izin industri ekstraktif sumber daya alam yang ada di Kalimantan Tengah.
“Curah hujan tinggi bukan faktor utama penyebab banjir, faktor penting lain adalah akibat alih fungsi hutan atau deforestasi yang massif terjadi khususnya di Kabupaten Kapuas dan Barito Timur. Jika kondisi ekologinya bagus, maka daya tampung lingkungan masih baik dan akan mencegah atau meminimalisir banjir,” kata Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah, Bayu Herinata.
Sebanyak 13 desa yang terdiri dari 2712 KK atau sebanyak 8527 jiwa di Kecamatan Kapuas Tengah dan 10 desa terdiri dari 2712 KK atau sebanyak 5552 jiwa di Kecamatan Pasak Telawang dan desa Kalamus, desa Bangkan, desa Paku Beta di Kecamatan Paku, Kabupaten Barito Timur dengan total 29 kk yang mengalami dampak bencana ekologis banjir.
“Terjadinya banjir, disebabkan beberapa faktor, pertama kondisi tutupan hutan yang semakin berkurang dan memperparah krisis ekologi yang berkontribusi terhadap krisis iklim, faktor lain adalah kontrol tata ruang yang tidak baik oleh pemerintah, areal resapan air dan wilayah perlindungan seperti hutan di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) telah diberikan izin untuk industri ekstraktif sumber daya alam seperti pertambangan batu bara, perkebunan sawit dan industri kayu,” tambah Bayu.
Bayu menegaskan, pemerintah penting untuk melakukan audit dan kajian lingkungan untuk mengidentifikasi areal dan wilayah rawan bencana ekologis seperti banjir dan karhutla untuk segera dilakukan pemulihan dan memastikan tutupan hutan dan ekosistem gambut tersisa di Kalteng untuk dapat dilindungi dan dipertahankan sesuai fungsinya.
Sementara itu, Manajer Advokasi dan Kajian WALHI Kalimantan Tengah Janang Firman Palanungkai menambahkan bahwa daya serap tanah yang kurang baik diduga menyebabkan adanya bencana banjir di area Pujon.
“Daya serap tanah kurang baik, ini disebabkan adanya pembukaan lahan untuk areal tambang sehingga vegetasi hutan yang ada di atasnya menghilang. Ekosistem yang hilang menyebabkan daya tampung tanah untuk menyerap air mengurang dan berdasarkan analisis data spasial perizinan di Kabupaten Kapuas yang berada di DAS Kapuas, di daerah hulu DAS terindikasi ada kegiatan pembukaan hutan untuk lahan perkebunan besar sawit di Kecamatan Kapuas Tengah,” jelasnya.
Menurutnya, selain adanya pembukaan lahan oleh konsesi perkebunan dan adanya pembukaan lahan untuk tambang sepanjang DAS Kapuas. Adanya perubahan tutupan lahan yang signifikan juga akan mempengaruhi daya serap tanah.
“Adanya pendangkalan (sedimentasi) di anak-anak Sungai Kapuas menyebabkan sungai tidak mampu menampung debit air hujan, yang menyebabkan terjadinya banjir di bantaran sungai hingga ke bantaran sungai besar,” terangnya.
Janang mengingatkan bahwa kondisi saat ini penting untuk melakukan upaya respon/tanggap bencana yang cepat, tepat dan efektif, untuk mencegah dampak yang lebih besar baik kerugian ekonomi masyarakat maupun korban jiwa. Pemerintah melalui dinas terkait harus segera menyalurkan bantuan kebutuhan pokok kepada masyarakat yang terdampak, membangun posko pengungsian, serta penanganan kesehatan masyarakat terdampak. (**)
Editor: Andrian