INTIMNEWS.COM, SAMPIT – Kasus kematian wisatawan yaitu seorang anak perempuan yang masih berumur enam tahun di wahana pemandian air di Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Membuat seorang advokat sekaligus dosen angkat bicara.
Menurut Nurahman Ramadani, S.H., M.H, pengusaha atau pengelola bisa dijerat sanksi administratif dan pidana. Kematian bocah berusia sekitar enam tahun akibat sengatan listrik saat berlibur tahun baru di wahana pemandian air di Kota Sampit harus ditindaklanjuti secara serius dan menerapkan pertanggungjawaban baik administrasi maupun pidana.
Secara administratif landasan yuridis bisa ditemukan pada Pasal 63 UU 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang menjelaskan bahwa Ayat (1) Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan/atau Pasal 26 dikenai sanksi administratif.
“Ayat (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa, a. teguran tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; dan c. pembekuan sementara kegiatan usaha,” sebut mantan aktivis HMI itu, Selasa 4 Januari 2022.
Lebih lanjutnya, dimana pasal 26 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, mengatur kewajiban pengusaha pariwisata untuk memberikan keselamatan wisatawan yaitu : Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan dalam hal ini pengusaha atau pengelola pariwisata berkewajiban untuk memenuhi semua yg diatur dalam Pasal 26 terutama keselamatan wisatawan yang merupakan prioritas utama bagi pengusaha atau pengelola dalam pengelolaan objek wisata tersebut.
Penerapan sanksi administratif katanya, yang paling relevan dalam kasus ini adalah pembekuan sementara kegiatan usaha saat penyelidikan dan penyidikan, termasuk evaluasi yang harus dilakukan Dinas Pariwisata Kotim terhadap perlindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan untuk memberikan efek jera sekaligus menghindari terulangnya kejadian serupa.
“Sedangkan untuk sanksi pidananya bisa diterapkan pasal kelalaian atau kealpaan yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kelalaian biasanya disebut juga dengan kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan ini terdapat dalam, Pasal 359 KUHP: yang berbunyi, Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun,” bebernya
Penerapan KUHP ini karena sanksi pidana dalam pasal 64 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, hanya mengatur tentang sanksi pidana terhadap “merusak fisik daya tarik wisata atau mengurangi nilai daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan”.
Penerapan KUHP dimungkinkan mengingat kelalaian ini berakibat pada kematian wisatawan. Sementara kriteria Kelalaian (Culpa) Dalam Hukum Pidanasebagaimana disebutkan dalam The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English, second edition, disebutkanbahwa Negligence atau culpa (kelalaian) sebagai ‘carelessness, failure to take proper care of precautions’ (tidak hati-hati, gagal untuk berhati-hati atau upaya pencegahan) yang sejalan dengan pendapat Van Hamel yang mengatakan bahwa “kealpaan/kelalaian” itu mengandung 2 (dua) syarat yaitu :
1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum; dan 2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum
Selain merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan KUHP terdapat juga hak anak yg diatur dalam pasal 11 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Jo UU No. 35 Tahun 2014Tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yg menjelaskan tentang hak anak untuk berekreasi yaitu :
Pasal 11 “Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasisesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.” Hak berekreasi yg merupakan hak anak tentunya menjadi kewajiban pihak pengusaha/pengelola dalam menjamin keselamatan wisatawan anak-anak yg menjadi pengunjung objek wisatanya sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam pasal 26 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Hukum merupakan bagian dari peradaban manusia yang mengatur tatanan kehidupan sosial yang bertujuan kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Sehingga peradaban hukum menjadi suatu kesatuan dalam sistem pengaturan dan pengorganisasian kehidupan masyarakat dengan sarana hukum yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat di segala bidang untuk menegakkan perlindungan hukum bagi masyarakat yang merupakan tugas pokok dari Negara Indonesia sebagai negara hukum yang secara tegas termuat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
“Karena itulah saya yakin dalam kasus ini aparatur penegakan hukum khususnya Jajaran Polres Kotawaringin Timur akan mengedepankan tiga tujuan hukum yang menjadi landasan fundamental bagi aparat penegak hukum dalam setiap tindakannya yaitu: keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum guna memberikan efek jera dan menghindari terulangnya kasus seperti ini,” demikiannya.
Editor: Andrian