INTIMNEWS.COM, JAKARTA- Setelah diberitakan pers barat dan diamplifikasi oleh media sosial di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia. Pemerintah Republik Islam Iran akhirnya angkat bicara dan membantah apa yang dituduhkan dalam pemberitaan yang dikemas sebagai “revolusi jilbab”.
Duta Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia, Timor Leste dan ASEAN Mohammad Kh. H. Azad di Jakarta menjelaskan, pemberitaan media barat dan informasi yang beredar melalui media sosial sejak kematian Mahsa Amini, tidaklah benar.
Berita itu menuduh pihak pemerintah Iran seakan-akan melakukan penganiayaan terhadap Mahsa Amini yang sedang berurusan dengan polisi sosial karena tidak mengenakan jilbab/hijab sebagaimana yang menjadi tradisi dan aturan yang berlaku di Iran.
Kematian Mahsa Amini pada 16 September 2022 di Rumah Sakit Teheran itu kemudian diikuti gelombang unjuk rasa yang anarkis, aksi bakar-mambakar dan melemparkan bom molotov. Aksi demonstrasi yang dikemas sebagai “revolusi jilbab” itu diduga diprovokasi oleh pihak Barat di Iran.
“Peristiwa meninggalnya Mahsa Amini merupakan hal yang menyedihkan bagi bangsa dan pemerintah Republik Islam Iran,” kata Azad yang didampingi Strategic Communications Specialist Ali Pahlevani Rad, Third Secretary Bita Zolali, dan beberapa staf lainnya dalam jumpa pers di kediaman Duta Besar Iran di Jakarta.
Jumpa pers yang digelar Rabu malam, 19 Oktober 2022, dihadiri para wartawan media yang berkantor di Jakarta.
Terlihat hadir juga sejumlah pimpinan media dan organisasi pers antara lain pimpinan Kompas.com Amir Sodikin, Wakil Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Yono Hartono, dan Sekretaris Jenderal SMSI M. Nasir.
Menurut pemerintah Republik Islam Iran, demonstrasi besar-besaran yang terjadi setelah kematian Mahsa Amini merupakan rekayasa pihak-pihak anti Iran yang menunggangi kematian perempuan berdarah Kurdistan itu untuk membuat kerusuhan di Iran.
Mereka menuduh Iran melakukan penganiayaan terhadap Mahsa Amini. Padahal berdasarkan hasil pemeriksaan forensik pada kepala perempuan tersebut tidak terdapat tanda penganiayaan.
“Pada tanggal 7 Oktober 2022, Organisasi Kedokteran Forensik Iran menjelaskan, kematian Mahsa Amini bukan disebabkan oleh pukulan di kepala atau organ vital dan anggota tubuh melainkan almarhumah Mahsa Amini meninggal dunia akibat hipoksia serebral, gangguan irama jantung mendadak, penurunan tekanan darah dan kehilangan kesadaran, serta kekurangan oksigen ke otak,” kata Azad.
Menurut Azad, Republik Islam Iran menerapkan transparansi dan keadilan sebagai pendekatan utama dalam menangani kasus Mahsa Amini.
Tetapi negara-negara Barat dan rezim zionis Israel yang telah mengalami kegagalan yang memalukan dalam menghadapi Iran sejak kemenangan Revolusi Islam, kata dia, berusaha mengimbanginya dengan melakukan berbagai cara.
“Kali ini melalui kampanye hitam oleh berbagai media main stream dan robot-robot media sosial, mencoba menciptakan kerusuhan dan kekacauan di Iran,” tuturnya.
Kerusuhan baru-baru ini di Iran dengan memanfaatkan dalih kematian Mahsa Amini untuk mencampuri urusan dalam negeri Iran dan memicu lebih banyak kerusuhan.
Menurut Azad, dalam perkembangan yang terjadi di Iran, kita harus bisa membedakan antara aksi damai, demonstrasi dengan kerusuhan yang menciptakan ketidakamanan negara.
Menurut undang-undang Republik Islam Iran berbagai aksi damai dan penyampaian aspirasi melalui demonstrasi disahkan dan berbagai golongan masyarakat dapat menggunakan hak tersebut.
“Tetapi Republik Islam Iran sama dengan negara lain di dunia tidak dapat membiarkan kerusuhan dan kekacauan diciptakan oleh segelintir orang yang diprovokasi oleh Barat dan rezim Zionis Israel,” tuturnya.
Sejak beberapa hari pasca meninggalnya Mahsa Amini, aksi-aksi yang terjadi di beberapa kota di Iran berubah dari aksi damai menjadi kerusuhan dan kehancuran. (*)
Editor: Andrian