INTIMNEWS.COM, PANGKALAN BUN – Anggota Komisi VII Bidang Energi, Industri Riset dan Teknologi DPR RI Mukhtarudin meminta pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam menyikapi tren transisi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia.
“Saya kira perlu hati-hati ya, karena hal ini justru akan berpotensi menimbulkan krisis energi jika disikapi secara berlebih,” kata Mukhtarudin, Sabtu, (30/10/2021).
Mukhtarudin lantas menyoroti China dan negara-negara di kawasan Eropa yang terkena dampak krisis energi akibat harga gas alam yang melambung tinggi karena terlalu progresif menyambut (EBT).
“EBT di Eropa belum mampu mengimbangi lonjakan kebutuhan energi, selain butuh waktu membangunnya. Ketersediaan energi yang dibangkitkan juga tidak stabil,” tutur Mukhtarudin.
Bukan tidak mungkin, politisi Golkar Dapil Kalimantan ini menilai Indonesia sangat berpotensi menghadapi risiko yang sama dengan negara-negara lain, jika transisi energi tersebut tidak disikapi secara hati-hati.
“Ini lah yang harus menjadi sebuah referensi buat pemerintah kita, terkait kebijakan energi nasional,” imbuh Mukhtarudin.
Wakil Ketua Fraksi Golkar DPR RI bidang Inbang ini mengatakan upaya pertumbuhan energi dan menjaga lingkungan hidup harus dilakukan seimbang.
Hal tersebut penting guna untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Sehingga, lanjut Mukhtarudin, dapat dihasilkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi serta kapasitas daya dukung sumber daya alam dan daya tampung lingkungan hidup saat ini dan yang akan datang.
Pemerintah perlu bijaksana dengan pertimbangan antara pembangunan ekonomi dan juga kesediaan sumber daya alam yang kita miliki saat ini” pungkas Mukhtarudin.
Diketahui, Kementerian ESDM menargetkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tarif pembelian tenaga listrik yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT) dapat terbit bulan ini.
Adapun saat ini prosesnya ini masih tengah difinalisasikan dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
“Peraturan Presiden tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sudah dalam tahap finalisasi,” ujar Peneliti Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto, Kamis, (21/10), lalu. (Yus)