INTIMNEWS.COM, PANGKALAN BUN – Pengenaan pajak karbon dinilai masih sebatas wacana publik guna mengetahui suara baik dari pelaku usaha atau masyarakat secara keseluruhan saat ini. Pasalnya komunikasi langsung dari pemerintah belum terjadi.
Rancangan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI pada Kamis (7/10), mengatur tarif karbon minimal Rp 30 per kilogram karbon CO2e akan ditetapkan mulai 1 April 2022 mendatang.
Kendati belum jelas skema pengenaannya, tetapi prinsipnya pemerintah akan mengenakan pajak karbon pada wajib pajak orang pribadi dan badan atas emisi karbon. Sejauh ini, pajak yang akan dikenakan senilai Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Menanggapi hal itu, Anggota Banggar DPR RI Muktarudin menilai rencana implementasi pajak karbon harus dipertimbangkan secara komprehensif supaya tidak kontraproduktif dengan misi pemerintahan Jokowi – Ma’aruf Amin untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Pasalnya, menurut Mukhtrudin, pungutan atas emisi karbon memiliki efek berganda yang signifikan, karena kebijakan tersebut memiliki konsekuensi berupa meningkatnya ongkos produksi sejumlah produk manufaktur.
Padahal, Politisi Golkar Dapil Kalimantan Tengah ini bilang Iklim usaha di sektor industri manufaktur baru akan bangkit setelah terdampak sangat dalam akibat pandemi Covid-19.
“Jadi, jangan sampai terganggu karena penerapan pajak karbon ini ya,” tegas Muktharudin, Sabtu 10 Oktober 2021.
Mukhtarudin mengatakan kebijakan ini juga berpotensi menghambat ekspansi bisnis pelaku usaha di dalam negeri, karena biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal.
Untuk itu, Anggota Komisi VII DPR ini meminta pemerintah berhati-hati dan perlu mengkaji secara komprehensif dalam menerapkan pajak karbon tersebut, karena sektor utama yang membentuk produk domestik bruto (PDB) Indonesia memiliki karakter padat energi.
“Reformasi struktural di bidang perpajakan ini jangan sampai kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi, ya, jadi saya kira perlu ada masa transisi untuk penerapan pajak karbon ini,” imbuh Mukhtarudin.
Pria Kelahiran Pangkalan Bun Kalteng ini mengingatkan Industri manufaktur menjadi salah satu sektor yang diandalkan dalam upaya pemulihan ekonomi nasional setelah tertekan akibat pandemi Covid-19 melanda NKRI.
“Oleh karena itu, saya kira perlu ada masa transisi untuk penerapan pajak karbon ini,” tandas Mukhtarudin.
Kendati demikian, Mukhtarudin mendukung pengenaan pajak karbon yang berkaitan dengan upaya Indonesia untuk memperkuat ketahanan perekonomian Indonesia dari ancaman risiko perubahan iklim sesuai Paris Agreement, Indonesia yang berkomitmen untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 41% pada 2030 dalam penanganan perubahan iklim global.
“Pada prinsipnya kita mendukung terhadap target penurunan emisi sebagaimana yang diamanatkan dalam Paris Agreement, tapi perlu memperhatikan keseimbangannya dengan pertumbuhan ekonomi dan daya dukung sumber daya alam yang kita punya,” pungkas Mukhtarudin. (Yusro)