Oleh: Irpan Jurayz (Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Palangkaraya)
Rasa Kemanusian yang hilang
Satu minggu lebih, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sudah dilaksanakan. Sudah pasti ini diperuntukan untuk virus yang sudah menemani kita selama 1 tahun lebih, yang sudah banyak memakan korban, dan masih banyak pencapaian yang ditorehkannya. Sudah banyak harapan yang diucap, sudah banyak doa yang dipanjatkan untuk virus tersebut.
Sepanjang tahun 2020 hingga 2021 ini, kita meyaksikan dampak yang begitu ganas atas pandemi Covid-19. Betapa banyak manusia yang dijemput kematiannya. Manusia dibuat lumpuh tak berdaya oleh makhluk mikroskopis.
Di negeri kita sendiri kasus ini makin serius dan memprihatinkan. Angka kematian dan terpapar terus meningkat. Saat ini Jumat 16 Juli 2021 sudah 2,67 juta kasus yang terpapar dan tercatat yang meninggal sudah hampir mecapai angka 70 ribu jiwa.
Sudah banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dari mulai kasus pertama kali pada maret 2020, dimulai dari penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga saat ini yang baru berjalan satu minggu lebih yaitu Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Hal ini untuk memutus mata rantai virus Covid-19. Namun kebijakan yang digadang memulihkan kesehatan akan tetapi berdampak pada berbagai bidang kehidupan, meliputi pedidikann, ekonomi, politik, bahkan agama sekalipun.
Tagline yang terus digaungkan selama ini seperti stay at home dan work from home memunculkan masalah lain. Para pekerja lapangan harus terkena dampaknya, banyak juga pekerja pabrik yang kena PHK. Manusia dibuat berpikir keras untuk bisa bertahan dalam situasi yang belum bisa kita prediksi kapan pandemi ini berhenti.
Selama ini banyak yang terdampak keganasan virus Covid-19 tersebut, dampak yang begitu menyusahkan semua golongan, hingga tidak memandang status sosialnya apa. Yang mereka tau bagaimana bisa mempertahan hidupnya. Sampai-sampai menghalalkan segala cara hanya untuk mendapatkan pundi-pundi uang seperti penipuan, pencurian, dan perampokan.
Kenapa saat ini ada orang yang yang tidak percaya Covid-19? sebenarnya mereka tidak percaya Covid-19, akan tetapi mereka sudah muak dengan apa yang terjadi. Dimulai dari penimbunaan masker dan obat-obatan diborong sehingga orang yang membutuhkan susah untuk mendapatkan. Ditambah lagi ada penjualan alat swab sampai-sampai dana bansos dikorupsi. Masyarakat saat ini kecewa karena manusia tidak lagi manusiawi.
Sekarang ini semua orang tidak berada di keadaan yang sama, orang yang lebih mampu hanya sering panic buying, namun mereka yang susah hanya bisa panic selling. Yang kaya saat ini hanya bisa stay at home namun yang miskin hanya bisa stay hungry, dibawah diminta taat prokes, diatas malahan ada oknum yang mengadakan pesta secara terang-terangan. Sesungguhnya virus covid memakan banyak korban, namun virus yang paling berbahaya adalah egoisme yang merenggut perikemanusiaan.
Jadi Manusia yang berprikemanusian
Banyak masyarakat dilema dengan keadaan, namun hendaknya rasa dilema itu tidak dibarengi dengan rasa panik yang berlebihan. Ibnu Sina pernah berkata kepanikan separuh dari penyakit, sementara ketenangan separuh dari pengobatan, sedangkan kesabaran awal dari kesembuhan.
Maka dari itu, hadapi wabah ini dengan ketenangan namun tetap dengan kewaspadaan, serta menjalankan prokes dengan sebenarnya dan dibarengi dengan berpikir selayaknya orang dewasa yang menjaga kesehatan, menjaga diri, menjaga keluarga. Serta orang-orang di sekitar kita dengan memberi tahu informasi tanpa kurang atau lebih agar tidak menambah ketakutan di negeri ini.
Jika kita menantikan kapan pandemi ini berakhir? Maka jawabannya kapan kita menjadi manusia yang memanusiakan. Manusia yang memhami nilai-nilai kemanusiaan, manusia yang menjunjung tinggi solidaritas dan kepedulian sosial.
Pandemi ini memanggil kita semua untuk menumbuhkan rasa solidaritas kita. Pada dasarnya manusia diciptakan menjadi makhluk sosial. Maka sebisa mungkin untuk kita saling peduli dan membantu sesama kita. Karena kita telah melalui beberapa tahun ini dengan penuh kelam, akan tetapi kita sebisa mungkin menarik benang merahnya untuk menjadi pembelajaran untuk kita semua.