INTIMNEWS.COM, JAKARTA – Sebagai bentuk solidaritas untuk petani dari Desa Kinjil, beberapa aliansi dari masyarakat Kalimantan Tengah menggalang pengumpulan koin. Koin yang berhasil dikumpulkan sejumlah Rp 2,9 juta, Jakarta, 19 Juni 2023.
Pengumpulan koin itu sebagai upaya mengganti kerugian PT Bumitama Gunajaya Abadi (BGA) atas laporan mereka kepada Aleng Sugianto (63), Maju (63), dan Suwadi (40) yang diduga mencuri sawit.
Sudah hampir dua bulan tiga warga Desa Kinjil ini ditahan di Polres Kotawaringin Barat. Mereka terancam hukuman penjara selama 7 tahun.
Koaliasi Keadilan untuk kinjil menilai laporan dan penahanan ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap Aleng dan yang lain. Sebab menurut koalisi, tanaman sawit yang dipanen oleh Aleng merupakan tanah milik mereka sendiri dan berada di luar konsesi HGU milik PT BGA.
Bayu Herinata, Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Tengah mengatakan bahwa berdasarkan surat dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), tanah yang diklaim oleh PT BGA tersebut bukanlah tanah yang masuk dalam HGU milik PT BGA.
“Jelas, sebenarnya PT BGA lah yang mengambil tanah rakyat dan melakukan kriminalisasi terhadap Aleng dan kawan-kawan. Kami menyayangkan, kenapa bentuk-bentuk kriminalisasi yang dilakukan oleh korporasi dan aparat kepolisian terhadap rakyat terus menerus berulang di Kalimantan Tengah. Bukankah harusnya peran pengurus negara dan aparat kepolisian adalah untuk menyelesaikan konflik agraria dan melindungi rakyat?,” ucapnya.
Perwakilan masyarakat dari Kalimantan Tengah, Gusti Samudra juga menjelaskan bahwa pihak Desa Kinjil telah mengembalikan tanah yang diklaim oleh PT BGA tersebut kepada Aleng dan yang lain. Bahkan, pihak desa juga telah memberikan surat keterangan tanah kepada Aleng. Atas dasar itulah, Aleng sekeluarga merawat dan memanen sawit yang sudah terlanjur tumbuh di lahan miliknya.
“Aleng dan kawan-kawan hanya tiga dari masyarakat petani yang selama ini menggugat ketidakadilan atas praktik buruk skema plasma PT BGA. Mereka menuntut hak sesuai perjanjian mendapatkan plasma 50% dari lahan yang diserahkan, tak digubris perusahaan. Karena itu, mereka menarik diri dari kerjasama kemitraan plasma dengan perusahaan,” ujar Gusti.
Atas dasar itulah Koalisi Keadilan untuk Kinjil yang terdiri dari gabungan organisasi masyarakat sipil seperti WALHI Kalteng, WALHI Nasional, Greenpeace, Pantau Gambut, PILNET, Progress, Save Our Borneo, LBH Palangka Raya, Sawit Watch, koalisi pemuda-mahasiswa di Pangkalan Bun dan Palangka Raya, serta individu-individu aktivis lingkungan dan masyarakat adat mendesak agar PT BGA mencabut laporan mereka dan Polres Kotawaringin Barat segera melepas Aleng dan kawan-kawab.
Selain itu, koalisi ini juga mendesak PT BGA berhenti melakukan kriminalisasi dan mengembalikan serta mengakui hak rakyat di desa Kinjil atas tanah mereka.
Koalisi juga meminta pengurus negara harus segera melakukan evaluasi terhadap izin anak perusahaan HARITA Grup itu.
“Sebab selain melakukan aktivitas di luar izin konsesi, perusahaan ini juga diduga melakukan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan. Berdasarkan SK Menteri LHK No SK.359/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/6/2021 Tentang Penetapan Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan, PT BGA melakukan aktivitas tanpa izin di kawasan hutan seluas 800 hektar,” jelas Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, sekaligus koordinator aksi solidaritas ini.
Ia menyebut, fakta yang ada di lapangan seharusnya menjadi pertimbangan yang tepat untuk mengevaluasi izin PT BGA.
“Mengkriminalisasi rakyat, melakukan aktivitas di luar izin HGU, melakukan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan, dan memunculkan konflik agraria berkepanjangan, seharusnya fakta-fakta ini cukup untuk pengurus negara ini melakukan evaluasi terhadap izin PT BGA. Evaluasi ini tentunya harus diikuti dengan penegakan hukum dan pencabutan izin,” tegasnya.
“Bukan hanya itu, sudah selayaknya juga perusahaan ini masuk dalam daftar hitam / blacklist yang seharusnya tidak lagi diberikan izin konsesi,” tutup Uli. (**)
Sumber: WALHI
Editor: Andrian