INTIMNEWS.COM, JAKARTA – Belum dipublikasikannya draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dari 25 Mei 2022 lalu membuat polemik di berbagai kalangan masyarakat. Mereka mengkhawatirkan isi draft yang nantinya justru akan menimbulkan masalah dan merugikan kelompok tertentu.
Jika kita simak dari draft RKUHP versi 2019, maka rancangan Undang-Undang ini dinilai bisa dengan mudah menjerat pidana bagi kelompok yang bersebrangan dengan pemerintah dan pejabat negara.
Beberapa tahun sebelumnya, draf RKHUP versi 2019 saat itu sudah memicu unjuk rasa besar-besaran dari kalangan masyarakat sipil dan mahasiswa.
Kemenkumham sendiri menyebut bahwa saat ini belum bisa dipublikasikan karena masih dalam tahapan penyusunan.
“Untuk draf terbaru, kami belum dapat mempublikasikannya karena sifatnya masih dalam taraf penyusunan dan penyempurnaan. Draf baru bisa kami sampaikan apabila pemerintah dan DPR telah bersepakat,” kata Kepala Bagian Humas Kementerian Hukum dan HAM, Tubagus Erif Faturahman kepada Kompas.com, Senin (20/6/2022) lalu.
“Untuk draf RUU KUHP, yang bisa kami sampaikan kepada publik adalah draf RUU KUHP tahun 2019 yang batal disahkan,” sambung Erif.
Di sisi lain, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani meminta agar semua pihak tidak menuduh pemerintah dan DPR bersikap tertutup karena belum membuka draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Ia menyebut mengatakan bahwa draf RKUHP masih berada di tangan pemerintah yang tengah melakukan penyempurnaan dan perbaikan atas draf RKUHP tahun 2019 lalu yang hampir disahkan. “Jadi kalau belum apa-apa kemudian pemerintah terutama dan DPR dituduh tidak terbuka, ya karena memang belum siap gitu lho,” katanya, Senin (20/6/2022).
Draft RKUHP versi 2019 yang saat ini beredar memang dibatalkan pengesahannya setelah mendapat penolakan dari berbagai golongan. Berikut ini adalah beberapa pasal karet yang ditemui dalam draf RKUHP versi 2019:
1. Penghinaan presiden
Menghina presiden dan wakilnya dapat dipenjara paling lama tiga tahun enam bulan. Ketentuan ini tertuang dalam pasal 218 RKUHP.
Kemenkumham menyebut pasal ini tetap ada, tetapi diubah menjadi delik aduan. Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi harkat dan martabat presiden.
2. Hukuman mati
Kemenkumham menyebut pidana mati tetap dipertahankan pada pasal 67, 98, 99, 100, 101, dan 102. Pasal ini bukan pidana pokok, melainkan bersifat khusus.
Selain itu, pidana ini dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun apabila memenuhi persyaratan.
3. Penodaan agama
Orang yang dianggap melakukan penodaan agama dapat dipenjara paling lama lima tahun. Ketentuan itu tertuang dalam pasal 304.
Pada pasal ini pemerintah melakukan penyelarasan karena dalam penjelasan masih menggunakan kata ‘penghinaan’.
4. Kontrasepsi
Orang yang memperlihatkan, menjual, dan menyebarkan informasi untuk mendapatkan kontrasepsi kepada anak dapat dipidana denda. Ketentuan ini dalam pasal 414.
Keberadaan pasal ini harus ditinjau ulang, lantaran bertentangan dengan pengendalian HIV-AIDS.
5. Aborsi
Sama halnya dengan pidana aborsi. Dalam pasal 415, orang yang yang mempertunjukkan dan menawarkan untuk menggugurkan kandungan dapat dipenjara sampai enam bulan.
Sementara untuk ibu yang menggugurkan anak dapat dipenjara sampai empat tahun. Ketentuannya ada dalam pasal 469. Untuk dokter dan tenaga kesehatan yang mengugurkan dapat dipenjara sampai 15 tahun.
Pasal-pasal ini dinilai akan bertabrakan dengan UU Kesehatan dan UU Perlindungan Anak. Sehingga bakal menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat.
6. Gelandangan
Kemenkumham menyebut pidana ini tetap ada dan tertuang dalam pasal 431 dan tidak ada perubahan. Penggelandang dianggap mengganggu ketertiban umum dan dapat dijatuhi pidana denda.
Pasal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 34 ayat 1 UUD 1945. Dalam pasal itu negara justru seharusnya memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
7. Perzinaan
Orang yang dianggap berzina dapat dipidana penjara sampai 1 tahun. Ketentuannya ada dalam pasal 417.
Pasal ini memicu tingginya perkawinan anak. Sebab, pasal ini cenderung akan mendorong orang tua menikahkan anak secepatnya untuk menghindari zina.
8. Kumpul kebo alias kohabitasi
Pidana sampai enam bulan atau denda kategori II siap menanti orang yang dianggap tinggal bersama sebagai suami istri di luar perkawinan. Ketentuan itu dibuat pada pasal 418.
Pasal ini dapat mengkriminalisasi orang-orang yang menikah, tetapi belum tercatat di negara.
9. Penghinaan pengadilan
Pidana ini menjadi tertuang dalam pasal 280, dari draf sebelumnya yang memuat di pasal 281. Orang yang dianggap menghina pengadilan dapat dipidana denda paling banyak kategori II.
Pasal ini dianggap sebagai pasal karet dan berpotensi mengekang kebebasan berpendapat.
10. Pembiaran unggas
Pasal 277 mengatur pidana untuk orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain. Pasal ini diubah menjadi delik materiil.
11. Hukum yang hidup dalam masyarakat (living law)
Pidana ini tertuang dalam pasal 2 dan pasal 595. Living law berisiko dijadikan alasan oleh aparat dalam melakukan penghukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana (adat).
Editor: Andrian