INTIMNEWS.COM, SAMPIT – Pemangku adat di daerah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) diminta bisa memberikan batasan mana ranah adat dan mana yang menjadi ranah dari agama atau kepercayaan Umat Hindu Kaharingan. Hal ini menyikapi laporan terhadap tujuh Damang Basara Hai beberapa waktu lalu ke Polres Kotim oleh sejumlah Hindu Kaharingan.
Wakil Ketua Majelis Hindu Kaharingan Provinsi Kalimantan Tengah, Santo N Adi menyayangkan masih banyak para pelaku adat mencampuradukan antara adat dengan Agama Hindu Kaharingan.
Menurutnya apa yang dilakukan ini sangat menciderai perasaan mereka sebagai penganut yang mana selama ini tidak sembarangan dalam menggunakan bahasa-bahasa yang termuat dalam Kitab Suci Panaturan.
“Kadang-kadang saya melihat asal digunakan, padahal misal seperti bahasa Batawur di kepercayaan kami Kaharingan ada waktu dan momentum tertentu penggunaanya,” katanya, Kamis 13 April 2023.
Itu kata dia tidak bisa sembarangan, tetapi dalam oknum pemangku adat dengan semaunya menggunakan hal seperti itu, sehingga sangat disesalkan.
Santo menuturkan terkait pelaporan di Polres Kotim terhadap tunuh Damang ini merupakan bentuk dan sikap dari mereka umat Hindu Kaharingan yang mana selama ini lebih banyak diam ketika kepercayaan mereka kerap disalahgunakan dan dicampuradukan.
“Makanya itu kita serahkan proses penegakan hukumnya kepada Polisi karena negara memberikan perlindungan terhadap semua umat dan kepercayaan yang ada di Indonesia,”kata pria yang juga koordinator rohaniawan Hindu Kaharingan ini.
Jauh sebelum kejadian pelaporan ini, mereka juga pernah protes keras dengan pihak lembaga adat setempat. Diantaranya dengan melakukan Hinting Pali.
Di mana Hinting Pali dalam kepercayaan Hindu Kaharingan ini merupakan ritual mereka yang sakral dan dipergunakan untuk kesempatan dan waktu tertentu, bukan justru sebaliknya untuk melakukan hal-hal yang sifatnya tidak sesuai dengan ajaran di Hindu Kaharingan.
“Sudah kita protes keras juga waktu itu soal Hinting Pali dan ternyata selanjutnya adalagi yang menggunakan bahasa-bahasa di kitab suci kami,” tegasnya.
Dimana kata dia penggunaanya itu untuk waktu tertentu saja bukan untuk sidang adat segala macam.
“Kalau saya menduga ini sengaja digunakan untuk menakut-nakuti atau justru untuk terlihat lebih menguasai dengan Dayak padahal bukan begitu konsepnya,” tutupnya. (**)
Editor: Irga Fachreza