
INTIMNEWS.COM, KASONGAN – Proyek pembangunan Gedung Olahraga (GOR) Katingan Tahap IV tahun anggaran 2023 kini menyeret sejumlah nama ke meja hijau.
Dengan nilai proyek lebih dari Rp6 miliar dan pelaksanaan yang melibatkan kontraktor lokal dari Palangka Raya, dugaan praktik korupsi yang muncul dari proyek ini menjadi sorotan publik dan penguji integritas aparat penegak hukum di Kalimantan Tengah.
Tiga Tersangka, Satu Proyek Bermasalah
Kejaksaan Negeri Katingan menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam proyek ini: Risnaduar, mantan Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata; Ramang, sekretaris dinas Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata sekaligus PPK. Apries Undrekulana, Direktur CV Rungan Raya (pelaksana proyek).
Ketiganya ditahan sejak 9 Desember 2024 di Rutan Palangka Raya, dan dakwaan dibacakan di Pengadilan Negeri Palangka Raya pada 9 April 2025.
Jaksa menjerat mereka dengan pasal-pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
Dakwaan menyebut kerugian negara sebesar Rp541.942.800, yang diduga merupakan kelebihan pembayaran dalam pelaksanaan proyek.
Fakta Unik: Dana Sudah Dikembalikan Sebelum Penyidikan
Fakta mencolok dalam perkara ini adalah bahwa jumlah kerugian yang dimaksud telah dikembalikan ke kas daerah sebelum proses penyidikan dimulai.
Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) atas nama saksi Prihatin, pegawai Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Katingan, diketahui bahwa terdakwa Risnaduar menyetor dana kelebihan tersebut pada 18 Maret 2024 ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Bank Kalteng.
Namun, meski pengembalian dilakukan dalam waktu 18 hari setelah temuan Inspektorat keluar pada 29 Februari 2024, Kejaksaan tetap mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan tertanggal 15 Mei 2024, dan menetapkan ketiganya sebagai tersangka.
JPU berpendapat, pengembalian kerugian negara tidak menghapus unsur pidana, namun dapat menjadi faktor yang meringankan hukuman.
Membuka Lembaran Persidangan
Sidang perdana digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palangka Raya pada 9 April 2025 dengan agenda pembacaan dakwaan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa ketiga terdakwa dengan pasal-pasal berlapis dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal-pasal tersebut mencakup Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001, dengan tambahan Pasal 55 KUHP tentang turut serta melakukan tindak pidana.
Ketiganya diduga kuat melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan proyek, menyebabkan kerugian negara, serta menerima gratifikasi atau pemberian yang tidak sah.
Persidangan Diwarnai Eksepsi dan Dugaan Pelanggaran Prosedur
Dalam sidang perdana yang digelar pada 9 April 2025, terdakwa Apries Undrekulana menyampaikan eksepsi terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ia menilai dakwaan tidak disusun secara cermat dan tidak lengkap.
Sementara itu, terdakwa Risnaduar melalui kuasa hukumnya menyatakan tidak mengajukan eksepsi dan memilih untuk langsung melanjutkan ke tahap pembuktian.
Di tempat yang sama, kuasa hukum terdakwa Ramang, yaitu Wikarya F. Dirun, mengajukan eksepsi yang berisi sejumlah keberatan serius terkait proses penyidikan maupun substansi perkara. Dalam eksepsinya, ia menyoroti empat poin utama:
1. Penghilangan Bukti Penting
Kuasa hukum menyebutkan bahwa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) konfrontasi tertanggal 9 Desember 2024 antara Ramang, Risnaduar, dan Apries telah dihilangkan dari berkas perkara.
Dalam BAP tersebut, Risnaduar secara tegas menyebut nama mantan Bupati Katingan berinisial SA sebagai pihak yang menerima aliran dana dari proyek pembangunan GOR.
“Fakta hukum ini tidak pernah dimunculkan dalam surat dakwaan. Bahkan, BAP konfrontasi yang mencantumkan nama eks Bupati Katingan berinisial SA tidak dilampirkan dalam berkas perkara,” ujar anggota tim hukum, Parlin, saat membacakan eksepsi.
Tim kuasa hukum menilai penghilangan dokumen tersebut sebagai indikasi kuat adanya upaya untuk menutupi keterlibatan pihak lain yang diduga lebih tinggi dalam struktur kekuasaan.
2. Pelanggaran Hak Asasi Terdakwa
Selama proses penyidikan, terdakwa Ramang disebut mengalami pelanggaran hak dasar. Ia dilarang melaksanakan salat Jumat, tidak diberikan makan siang, dan dipaksa menandatangani surat sumpah oleh penyidik. Tindakan tersebut dianggap melanggar prinsip hak asasi manusia dan prosedur hukum yang sah.
3. Diskriminasi dalam Penegakan Hukum
Pihak kuasa hukum juga mempersoalkan status seorang saksi kunci berinisial PU, anggota Polri, yang diduga memiliki peran signifikan dalam pelaksanaan proyek. Meskipun keterlibatannya disebut dalam proses penyidikan, hingga kini PU tidak dijadikan tersangka.
4. Aspek Administratif Telah Diselesaikan
Mengacu pada Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 9 Tahun 2009, kuasa hukum menegaskan bahwa temuan Inspektorat Kabupaten Katingan yang menyebut adanya kelebihan pembayaran telah ditindaklanjuti secara administratif.
Pengembalian dana dilakukan dalam waktu kurang dari 60 hari, tepatnya 18 hari setelah temuan terbit.
Berdasarkan regulasi tersebut, seharusnya kasus ini cukup diselesaikan melalui jalur administratif dan tidak perlu dibawa ke ranah pidana, kecuali ditemukan bukti yang menunjukkan niat jahat (mens rea).
Kewenangan APIP dan Inspektorat yang Terabaikan
Laporan Inspektorat Kabupaten Katingan tertanggal 29 Februari 2024 menyebutkan adanya kelebihan pembayaran sebesar Rp541 juta, dan secara administratif, pengembalian dilakukan pada 18 Maret 2024 — hanya 18 hari kemudian.
Berdasarkan ketentuan, ini seharusnya menjadi kewenangan APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) dan diselesaikan melalui mekanisme tindak lanjut hasil pengawasan, bukan jalur hukum pidana langsung.
Sidang Masih Berlangsung, Publik Menanti Kepastian
Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi proyek GOR Katingan Tahap IV terus berlanjut dengan dinamika yang kian kompleks. Pada Kamis, 17 April 2025, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Vijai Antonius Sipakkar membacakan tanggapan atas eksepsi dari para terdakwa.
Dalam jawabannya, JPU menyatakan tetap pada posisi semula dan meminta majelis hakim menolak seluruh eksepsi yang diajukan, baik oleh terdakwa Apries Undrekulana maupun oleh kuasa hukum terdakwa Ramang.
Jaksa juga tidak memberikan tanggapan rinci atas sejumlah pertanyaan krusial yang diajukan oleh Wikarya F. Dirun, kuasa hukum Ramang, terutama terkait tidak dimasukkannya BAP konfrontasi dalam berkas perkara dan dugaan pelanggaran oleh penyidik.
JPU: “Eksepsi Menyentuh Pokok Perkara”
Dalam argumentasinya, JPU menilai bahwa eksepsi yang diajukan kuasa hukum tidak memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP.
Menurut jaksa, keberatan yang disampaikan lebih menyentuh aspek substansi perkara, termasuk soal penerapan pasal dan tafsir kerugian negara.
“Eksepsi yang disampaikan penasihat hukum terdakwa lebih banyak menyangkut materi pokok perkara. Hal-hal tersebut seharusnya dibuktikan dalam proses pembuktian di persidangan, bukan melalui eksepsi,” ujar Vijai di hadapan majelis hakim.
Lebih lanjut, JPU menegaskan bahwa surat dakwaan telah disusun secara cermat, jelas, dan lengkap, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 143 KUHAP.
Jaksa juga menyatakan bahwa tidak dicantumkannya Pasal 4 Undang-Undang Tipikor dalam dakwaan bukan merupakan pelanggaran, karena pasal tersebut bersifat pertimbangan yuridis dalam penjatuhan hukuman, bukan unsur formil dalam penyusunan dakwaan.
Jadwal Sidang dan Isu yang Menggantung
Putusan sela atas eksepsi akan dibacakan pada 21 April 2025, dan sidang akan dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi pada 23 April 2025.
Meski proses hukum terus berjalan, publik masih menyimpan sejumlah pertanyaan besar. Salah satu yang paling mencolok adalah perihal pernyataan dalam BAP konfrontasi yang menyebut adanya aliran dana kepada mantan Bupati Katingan berinisial SA.
Namun hingga kini, nama tersebut belum muncul dalam surat dakwaan maupun proses pemeriksaan lain. Hal ini memunculkan keraguan publik terhadap objektivitas penegakan hukum, dan memicu dugaan adanya intervensi kekuasaan dalam penanganan perkara.
Apakah pengadilan mampu mengurai seluruh fakta dan menghadirkan keadilan yang utuh? Ataukah kasus ini hanya akan menyentuh “pion-pion” di permukaan, sementara aktor utama tetap berada di balik tirai kekuasaan?
Ujian Integritas Penegakan Hukum
Kasus dugaan korupsi proyek GOR Katingan Tahap IV kembali menghidupkan diskusi publik mengenai tiga isu krusial dalam tata kelola pemerintahan.
Pertama, transparansi dalam pelaksanaan proyek-proyek daerah yang kerap kali rawan penyimpangan. Kedua, independensi dan profesionalisme aparat penegak hukum dalam menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Ketiga, peran pengawasan internal (APIP dan Inspektorat) dalam mencegah potensi kebocoran anggaran sejak dini.
Masyarakat kini menanti dengan penuh perhatian: apakah proses hukum ini akan menyentuh semua pihak yang terlibat, termasuk aktor-aktor di level atas, atau justru berhenti pada “pion-pion proyek” semata?.
Harapan lain yang tak kalah penting adalah agar mereka yang tidak terbukti bersalah dapat dibebaskan dari jerat hukum, demi tegaknya keadilan yang sesungguhnya.
Penulis: Maulana Kawit
Editor: Andrian