INTIMNEWS.COM, PANGKALAN BUN – Sidang lapangan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya, yang mendudukan PT. Kapuas Prima Coal Tbk sebagai penggugat dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pangkalan Bun serta PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) sebagai tergugat.
Gelaran sidang dilaksanakan di areal obyek sengketa kawasan Pelabuhan Kalaf Kecamatan Kumai Kabupaten Kotawaringin Barat, pada Jumat (13/5/2022), pagi.
Sidang lapangan dipimpin langsung oleh Hj. Nenny Frantika dan majelis hakim lainnya dan mengecek satu persatu areal yang dijadikan obyek sengketa tersebut.
Dari pihak penggugat yang hadir adalah M. Nurdin didampingi pengacaranya, sedangkan dari BPN selaku tergugat dihadiri Idris Syarofi dan dari Pelindo dihadiri oleh General Manajer Rio Dwi Santoso.
“Kita hari ini sidang lapangan menindaklanjuti sidang yang sebelumnya, intinya melihat areal obyek sengketa dan melihat batas-batas lahan secara langsung dilapangan,” kata Nenny Frantika.
“Sekaligus kita mendengarkan penjelasan masing-masing pihak sesuai versinya dan nanti majelis hakim membuat pertimbangan atas hasil sidang lapangan,” lanjutnya seusai sidang lapangan.
Sementara itu dari pihak Pengacara penggugat, Mahdianur, Menegaskan pada saat sidang lapangan banyak fakta-fakta terungkap, bahwa obyek permohonan PT. KPC yang ditolak BPN proses Hak Guna Bangunan (HGB) nya, diminta oleh Hakim menunjukkan dimana objek sengketa yang diajukan.
“Kita sudah tunjukkan titik satu persatu sampai titik lima, berdasarkan versi kita bahwa areal kita tidak ada tumpang tindih dengan sertifikat atau areal Hutan Penggunaan Lain (HPL) milik PT. Pelindo III Kumai,” kata Mahdianur.
“Maka seharusnya BPN wajib menindaklanjuti dan memproses pengajuan HGB, PT. KPC,” tegas Mahdianur saat diwawancarai awak media.
Lanjut Mahdianur, kenapa ini tidak diproses oleh BPN karena mereka menggunakan versi pengukuran tahun 2021 bahwa lahan yang diajukan PT. KPC itu tumpang tindih dengan sertifikat HPL PT. Pelindo.
Padahal faktanya tidak, karena BPN melakukan pengukuran ulang justru di areal milik PT. KPC.
Mereka, terang Mahdianur, justru mencaplok areal milik PT KPC, dengan dasar permohonan PT. Pelindo.
” Sementara tadi saat sidang lapangan kita bawa ke titik yang dimohonkan, hakim melihat sendiri secara langsung, kenyataannya batas milik PT. Pelindo di luar pagar. Yang artinya di luar yang dimohonkan PT. KPC ke BPN untuk penerbitan HGB,” terang Mahdianur.
Mahdianur juga menjelaskan bahwa, pagar atau beton yang dibangun PT. Pelindo sempat dibongkar masyarakat oleh pemilik asal karena mencaplok tanah warga.
Luasan HPL milik PT. Pelindo awalnya 60 hektare karena ada lahan milik masyarakat yang belum diganti rugi maka berkurang menjadi 58 hektare.
Menurutnya, pegawai BPN lama yang saat itu melakukan pengukuran masih hidup dan kini menjadi saksi fakta karena masih hidup.
“Tanah itu 60 hektare, menjadi 58 hektare, batasnya adalah di luar pagar dan tidak masuk areal KPC atau yang di mohonkan PT KPC. Sementara versi BPN masuk areal pagar karena tidak menggunakan data mereka yang lama,” bebernya.
Pihak PT. KPC juga mengklaim bahwa saksi-saksi berkaitan dengan sejarah awal masih ada semua. Termasuk terkait patok yang disampaikan bisa berpindah-pindah menurutnya itu tidak benar.
“Karena disitu juga ada pagar tembok dan temboknya juga tidak berubah sejak 2017,” tegas Mahdianur.
Sementara pihak tergugat dari BPN, Idris Syarofi, saat sidang lapangan menyatakan bahwa lahan HPL PT. Pelindo masuk kawasan pagar PT. KPC hal itu juga diperkuat dengan pernyataan GM Pelindo Rio Dwi Santoso.
Penulis: Yusro
Editor: Andrian