INTIMNEWS.COM – Laut Indonesia yang sungguh luas, kaya sumber daya ikan aneka potensi lainnya dan menjadi sebagai alas hidup orang banyak terutama di tengah pandemi menjadi salah satu alasan digelarnya dialog daring ‘Quo Vadis Sumber Daya Maritim Indonesia Timur di Era COVID-19’ oleh The Brorivai Center pada Sabtu, 11 Juli 2020. Pukul 14.00 WITA (13.00 WIB) via ZOOM.
Menurut Dr. Abdul Rivai Ras, Founder The Brorivai Center, pertimbangan lainnya mengapa Indonesia Timur jadi bahan dialog karena Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua oleh Pemerintah Indonesia sudah lebih 20 tahun berupaya mendorong pembangunan di Indonesia Timur dengan berbagai kebijakan transfer fiskal namun masih tetap tertinggal.
“Untuk pogram pembanguanan wilayah sejak tahun 2000 hingga kini kesenjangan tidak mengalamai perubahan. Mudah-mudahan ke depan bisa ditingkatkan,” ungkapnya.
Selain itu, menurut pendiri Universitas Pertahanan ini, pengembangan ekonomi daerah dengan menyediakan infrastruktur, fasilitas untuk kawasan Indonesia Timur, sesungguhnya menarik ditelaah, dimana bila dilihat dari pembentukan indeks tentang kesenjangan ekonomi antar wiayah, rata-rata dari 34 provinsi, terhenti pad kisaran, 0,79.
“Artinya, relatif masih tinggi,” katanya sembari mengutip kriteria Williamson dan data BPS bahwa pada kuartal ketiga terkait struktur ekonomi Indonesia berdasarkan kelompok provinsi yang menempatkan Indonesia bagian timur masih tertinggal.
Dia berharap pemanfaatan sumber daya kelauatan dan perikanan dapat terus dipacu dan sesuai kaidah yang semestinya apalagi ini merupakan komitmen sejak lama. “Kita ketahui ada 6 juta orang di sektor kelautan dan perikanan, ada pebisnis dan nelayan, Indonesia Timur secara kultural mayoritas ada di laut,” sebutnya.
Pertimbangan lain mengapa Indonesia Timur, sebab sumber daya ikannya melimpah tetapi industri perikanan tangkap ada di barat dan tengah Indonesia. “IUUF, pada area tangkap, tentu berkaitan dengan aspek kelembagaan dan keamanan maritim,” lanjut tokoh Sulsel ini yang akrab disapa Bro Rivai.
“Apa sih masalah yang menjadi barometer di Indonesia Timur. Saya hanya ingin menyampaikan bagaimana isu omnibus law, rancangan perikanan dan kelautan dan harus diawali peta perikanan, WPP atau wilayah pengelolaan perikanan, dan kemudian mempertimbangkan sebagai master map untuk investasi ke depan,” tutupnya.
WPP yang dimaksud oleh Dr. Rivai Ras adalah 11 wilayah pengelolaan perikanan yang telah diundangkan dan menjadi rujukan pengelolaan.
Bro Rivai menyampaikan roadmap investasi dan dapat disebut relevan dengan inisiatif Pemerintah terkait pengelolaan potensi sumber daya ikan secara umum.
Pada bulan Maret 2020, Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah meluncurkan Badan Pengelola WPP yang diharapkan dapat menjadi primemover usaha perikanan yang berperan sebagai unit pendataan, analisis dan perencanaan, penyedia data dan pemberi rekomendasi seperti apa daya dukung dan kemampuan produksinya.
Dosen Sekolah Kajian Startejik dan Global UI dan pernah memimpin Program Studi Pasca Sarjana Maritim UNHAN menyebut bahwa tingkat pemanfaatan belum optimal, masih underfishing, nelayan umumnya miskin. Mencermati isu-isu tersebut, di tengah ketidakpastian ekonomi global dia berharap ada penerapan fisheries management dan law enforcement.
“Kita bisa melihat bagaimana penangkapan ikan belum otpimal dan underfishing, terkesan dibuang begitu saja dan masuknya kapal-kapal yang bersifat illegal dari negara lain. Kenyataan ini menjadi cerminan, betapa kelautan dan perikanan perlu segera menatanya dengan melakukan kebijakan,” imbuhnya.
BRC WebTalk ini mengundang Prof. Dr. Ir. Nurdin Abdullah, M.Agr, (Gubernur Sulsel) yang diwakili oleh Kadis DKP Sulsel, Ir Sulkaf S Latief, Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc, Pakar Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, M. Zulficar Mochtar, S.T., M.Sc, Dirjen Perikanan Tangkap KKP serta Dr. Ir. Herman Khaeron, M.Si anggota DPR RI serta dimoderatori oleh Nurhidayatullah B. Cottong, Chief of Strategic Communications–BRC. (rls)