INTIMNEWS.COM, PANGKALAN BUN – Puluhan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) kabupaten Kotawaringin Barat menggelar aksi unjuk rasa damai menolak Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Omnibus Law.
Mereka mendatangi kantor DPRD dan dilanjutkan ke kantor Bupati Kobar untuk menyuarakan aspirasi para buruh. Aksi ini juga diikuti sejumlah perwakilan serikat buruh yang ada di masing-masing perusahaan.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) KSPSI Kobar Kosim Hidayat, mengatakan unjuk rasa ini merupakan bagian dari aksi sejuta buruh yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia, Rabu (10/8/2022).
“Kami dari KSPSI Kobar mendesak pemerintah pusat mencabut Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) klaster tenaga kerja beserta turunannya, karena banyak merugikan kami para buruh,” kata Kosim Hidayat.
Aksi demo damai di Pangkalan Bun ini berlangsung mulai pukul 10.39 sampai pukul 11.20 WIB. Sebanyak 40 orang anggota organisasi buruh membentangkan spanduk dan membuat video dukungan pencabutan UU Cipta Kerja.
Selain itu, mereka juga meminta pemerintah daerah menunjuk pejabat sekaligus guna memfasilitasi pembentukan forum komunikasi dan koordinasi antara pemerintah, serikat pengusaha dan serikat pekerja.
“Mendesak pemerintah Kobar segera mengangkat tenaga mediator agar buruh bisa Tripartit di Disnakertrans Kobar bukan malah dilimpahkan ke provinsi,” kata dia.
Pasalnya, selama selama ini pihaknya kesulitan untuk mengadukan berbagai persoalan pelanggaran ketenagakerjaan karena karak antara Pangkalan Bun dengan Palangka Raya cukup jauh.
Sementara semua biaya dibebankan kepada pekerja, kata Kosim Hidayat yang juga anggota DPRD Kobar ini.
“Makan waktu dan biaya yang harus ditanggung oleh pekerja. Sulitnya mencari keadilan pekerja di Kobar Kalimantan Tengah,” ujar aktivis buruh Kosim Hidayat yang juga politisi Partai Demokrat ini.
Mereka juga mendatangi kantir Bupati Kobar meminta pemerintah daerah menunjuk mediator di tingkat kabupaten untuk menangani aduan permasalahan ketenagakerjaan. Sebab selama ini pihaknya selalu diarahkan ke provinsi.
Mereka juga mendatangi kantor Bupati Kobar meminta pemerintah daerah menunjuk mediator di tingkat kabupaten untuk menangani aduan permasalahan ketenagakerjaan.
Di tempat yang sama, Sekretaris KSPSI Kobar Dine Transetyo menambahkan, terdapat 5 tuntutan yang disampaikan dalam unjuk rasa damai ini. Ada sejumlah poin dalam UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan para pekerja dan buruh.
“Yang pertama Sistem kerja kontrak. Dalam UU Cipta Kerja, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak dibatasi periode dan batas waktu kontrak. Pengaturan ini buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek, tanpa periode, dan secara terus menerus atau tanpa batas waktu sehingga menyebabkan buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan tetap,” imbuh dia.
Kedua, lanjut Dine, Praktik outsourcing. Sebab UU Cipta Kerja tidak mengatur batasan kriteria pekerjaan yang dapat dipekerjakan secara alih daya atau outsourcing.
Padahal berdasarkan UU Ketenagakerjaan, outsourcing hanya dapat dilakukan jika suatu pekerjaan terlepas dari kegiatan utama atau terlepas dari kegiatan produksi.
“Selain itu waktu kerja juga bersifat eksploitasi, dalam UU Cipta Kerja, batasan maksimal jam lembur dari tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan, menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu”
“Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding. Soalnya upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan” beber Dine Transetyo.
Tak hanya itu, UU Cipta Kerja juga membuat berkurangnya hak cuti dan istirahat buruh serta membuat para pekerja rawan terkena PHK sepihak.
Dalam UU Cipta Kerja, istirahat bagi pekerja hanya diperoleh sekali dalam sepekan. Buruh juga rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), salah satunya ketika mengalami kecelakaan kerja.
Dijelaskannya, Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 154A mengenai alasan pemutusan pemutusan hubungan kerja.
Salah satu alasannya yakni pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.
Sementara itu, pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan buruh berhak atas dua kali pesangon jika mengalami PHK karena sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan. Namun, ketentuan ini dihapus melalui UU Cipta Kerja.
Penulis: Yusro
Editor: Andrian