Oleh: Ahmad Safari Ramadani
Didaftarkannya perkara ke MK dengan nomor 114/PUU-XX/2022 mengenai judicial review atau uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka telah menggulirkan bola panas dalam ruang demokrasi Indonesia. Sudah tak asing di telinga kita, bahwa demokrasi adalah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sederhananya kedaulatan tertinggi demokrasi berada di tangan rakyat secara penuh sejak hadirnya pemilu langsung tahun 2004. Proses panjang dan penuh perjuangan telah mengubah wajah demokrasi Indonesia menjadi hari ini dalam wujud Pemilihan Umum (Pemilu) secara langsung, umum, bebas, jujur dan adil atau yang sering disebut LUBER JURDIL.
Tulisan ini mencoba memberi gambaran: Bagaimana nanti jika proporsional tertutup disetujui? Sederhananya rakyat tidak lagi memilih nama dalam sistem pemilihan umum, melainkan mencoblos partai. Selanjutnya wewenang siapa yang duduk menjadi wakil rakyat, hak sepenuhnya akan ditentukan oleh partai. Sangat disayangkan rakyat hanya diminta suaranya di awal, tanpa bisa mengawal keinginan terhadap siapa yang diyakini kompeten & membawa aspirasi mereka ke lembaga perwakilan legislatif.
Jika pembaca merasa dejavu (keadaan dimana seseorang akan merasa familiar dengan kondisi sekitar atau bahkan seolah-olah kamu sudah pernah mengalami hal tersebut di masa lampau dengan keadaan yang persis sama). Maka itu benar saja, karena fakta sejarah membuktikan sistem proporsional tertutup pernah terjadi pada 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu 1999.
Selanjutnya juga jika melakukan tracking terdahulu pada UU serupa di MK pada 23 Desember 2008 sudah ada putusan MK pada perihal yang sama lewat putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang sistem proporsional terbuka. Hal ini diperkuat dengan statement dari Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari, putusan MK bersifat final dan binding yang bermakna bahwa putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang tidak ada ruang hukum untuk mengujinya lagi. Sementara Jika MK mencoba mengubah dan menginterpretasikan justru akan memunculkan problematika baru. Saat terjadi perubahan keputusan akan membuat MK mendapat cap labil sebagai peradilan atas ketidak konsistennya.
Menurut penulis, ada tiga alasan kuat usulan sistem proporsional tertutup perlu ditolak oleh MK. Pertama, usulan sistem proporsional tertutup tidak ubahnya seperti memindahkan masalah ke tempat baru, bukan memangkas masalah. Dalih mengurangi praktik politik uang (money politic) di masyarakat tidak ubahnya hanya memindahkan money politic ke dalam partai. Setiap partai, akan benar–benar panen transaksi karena semua kadernya akan berebut kursi yang dibagikan oleh Partai bertahta dengan mantra super power, “mau kursi? Wani Piro?”. Masih ingat momen saling berebut nomor urut awal oleh kader-kader partai dahulu?
Kedua, Tidak etis MK meloloskan pengajuan terhadap sistem pemilu saat ini karena 15 Desember 2022 lalu juga KPU sudah menetapkan 18 partai politik nasional dan 6 partai lokal Aceh yang lolos untuk berkompetisi di kontestasi politik 2024. Mengapa kemudian ditengah jalan muncul permohonan judicial review UU Pemilu ini bahkan diaaminkan oleh ketua KPU untuk mengubah sistem pemilu. Logikanya ibarat sebuah event permainan bola, tim sepak bola sudah ditentukan, penonton sudah siap dengan membeli tiket, lalu aturan sudah siap sedia dan wasit-wasit telah ditunjuk sebagai pengawas pertandingan, lalu muncul aturan baru penonton tidak diperkenankan di Stadion atau aturan tendangan pinalti ditiadakan, penunjukan eksekutor pinalti sistem kedekatan. Tentu Pesta sepakbola itu akan cacat dan menciderai pertandingan. Sama dengan kondisi sekarang, sangat dekat pelaksanaan pemilu terhitung 13 bulan lagi akan dimulai kick off tepatnya Februari 2024.
Ketiga mencoblos partai tanpa tahu siapa wakil rakyat yang akan dpilih, tak ubahnya sama seperti membeli kucing dalam karung. Melakukan sistem proporsional tertutup artinya sama dengan memukul mundur demokrasi kita.Peluang oligarki akan merajalela, bisa jadi yang lebih dekat dengan ketua partai akan lebih diberi kursi, meskipun kader baru dan tidak berkompeten. Hal ini telah menutup asas keadilan bahwa setiap anak bangsa punya hak untuk memilih dan dipilih.
Sebagai penguat perlu digarisbawahi, pada awal tahun 2023 di Hotel Dharmawangsa terdapat 8 partai politik nasional yang menyatakan penolakan juga terhadap sistem proporsional tertutup. 7 Ketua Umum Partai diantaranya langsung bertemu, yaitu Golkar, PKB, Demokrat, PKS, PAN, PPP, Nasdem dan 1 yaitu partai Gerindra absen namun tetap menyatakan sikap yang sama yaitu penolakan. Jika partai politik sebagai peserta pemilu lebih dominan menolak, maka ego siapa yang akan diperjuangkan? Jika alasan menghindari konflik dalam demokrasi, rasa-rasanya demokrasi kita masih dalam tahap aman. Kontestan sekelas Pemilihan presiden saja seperti Prabowo & Sandiaga Uno Saja masuk dalam lingkaran koalisi dan bekerja bagi Presiden. Ketegangan & konflik politik bagaimana yang dianggap urgent dan mendesak?
Akhirnya dalam kontek konstitusionalitas sistem pemilu menurut penulis dengan adanya putusan terdahulu sudah selesai, tak heran jika hal ini kembali mengemuka sama artinya dengan kita memutar kaset lama demokrasi Indonesia. Mari merawat ingat dengan kutipan George Santayana Filsuf Spanyol (1863 – 1952), Mereka yang tidak pandai mengambil pelajaran dari sejarah, maka mereka ditakdirkan untuk mengulanginya. Jangan sampai negara memunculkan trust issue rakyat kepada politik. Yang akan berdampak pada meningginya angka golput. Sudah cukup kita jadi penonton dalam demokrasi, saatnya mendapat ruang lebih, hingga mengawal nama-nama yang diyakini maju mewakili aspirasi, bukan sekadar coblos partai.
(Ahmad Safari Ramadani, Penulis merupakan Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Palangka Raya, & Wakil Sekretaris Bidang Komunikasi, Informasi, dan Hubungan Masyarakat MD Kahmi Kota Palangka Raya)