
INTIMNEWS.COM, PALANGKA RAYA – Kasus korupsi yang menyeret para petinggi PT Pertamina baru-baru ini terungkap. Kasus ini terungkap usai Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan 7 tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi dan pengoplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari pertalite atau RON 90 menjadi Pertamax atau RON 92 yang dilakukan dari tahun 2018 hingga 2023 pada Senin 24 Februari 2025 lalu.
Dalam konferensi persnya, Kejagung memperkirakan jika dugaan korupsi di PT Pertamina Persero per tahun sebesar Rp 193,7 Triliun, sehingga selama 5 tahun berpotensi merugikan negara hingga Rp 968,5 triliun.
Hal itu menjadi perhatian seluruh kalangan masyarakat yang merasa dirugikan atas insiden ini.
Suherman, selaku pengamat sekaligus akademisi ekonomi dari Universitas Palangka Raya (UPR) menilai jika dampak buruk dari korupsi Pertamina tersebut akan sangat luas dan menciptakan multiplier effect yang bisa mengancam pertumbuhan ekonomi dan program pembangunan pemerintah.
“Tentunya kerugian negara akibat korupsi pada akhirnya akan dibebankan kepada masyarakat melalui peningkatan pajak agar kerugian tersebut bisa ditutupi,” ujarnya kepada Intimnews, Kamis 27 Februari 2025.
“Selain itu, hal ini bisa juga berdampak pada penghematan anggaran yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan daerah malah bisa saja dipakai untuk menutupi kerugian yang terjadi,” sambungnya.
Ia mengatakan jika BBM yang tidak sesuai dengan spesifikasi bisa membuat kendaraan jadi overheat, sehingga masyarakat terpaksa mengeluarkan biaya lebih untuk upah perbaikan.
“Lebih jauh dari itu, kualitas BBM yang tidak sesuai spesifikasi itu bisa loh merusak mesin kendaraan yang dimiliki oleh masyarakat, yang pada waktunya nanti meningkatkan biaya perawatan dan operasional kendaraan tersebut,” ungkapnya.
Dirinya juga menekankan bahwa dengan terjadinya kasus seperti ini, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus melakukan evaluasi, sehingga nantinya kejadian tersebut tidak terulang kembali.
“Dengan adanya kasus ini, mata kita terbuka bahwa sangat penting adanya pengawasan yang lebih ketat terhadap BUMN dan penegakan hukum yang benar-benar tegas terhadap pelaku korupsi, agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang,” ucap Suherman yang juga berprofesi sebagai dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis itu.
“Apalagi Pertamina ini termasuk perusahaan yang memonopoli bisnis BBM di Kalimantan Tengah (Kalteng), kita tidak punya opsi lain selain beli di Pertamina. Ada perusahaan lain, cuma itu di daerah Pulau Jawa, di Kalteng belum ada,” tambahnya.
Ia menerangkan, apabila dianalisa lebih jauh, kasus korupsi ini berpotensi mengakibatkan naiknya harga BBM dan secara tidak langsung juga berdampak terhadap pelaku usaha yang bergerak di bidang transportasi.
“Kita menganalisis lagi lebih jauh, kalau gara-gara kasus korupsi ini membuat harga BBM naik karena adanya revisi kebijakan subsidi, pastinya nanti bisnis transportasi (darat maupun air) kena dampaknya sama harga barang-barang juga pasti akan ikut naik seiring harga BBM yang naik,” jelasnya.
Suherman mengaku khawatir, akibat dari korupsi yang dilakukan oleh para petinggi Pertamina ini membuat masyarakat semakin tidak percaya terhadap produk pemerintah dan BUMN.
“Yang lebih dikhawatirkan adalah ketidakpercayaan masyarakat kepada BUMN yang bisa menyebabkan masyarakat melakukan boikot ataupun demonstrasi sebagai wujud kekecewaan mereka. Masyarakat bisa makin skeptis dan trust issue terkait BBM,” katanya.
“Bukan hanya masyarakat, tapi investor juga akan ragu-ragu untuk berinvestasi ke sektor Energi dan Migas di Indonesia kalau pengelolaannya diwarnai dengan praktik korupsi yang merugikan negara, khususnya masyarakat sebagai konsumen dari produk-produk hasil olahannya nanti,” lanjut Suherman menjelaskan.
Menurutnya, korupsi besar-besaran ini bisa menghambat laju pembangunan yang dilakukan di daerah Kateng saat ini.
“Pembangunan Kalteng juga berpotensi terhambat jika sampai terjadi pengurangan anggaran lagi akibat negara berupaya menutupi kerugian ratusan triliun,” bebernya.
Ia prihatin terhadap apa yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia pada saat ini.
“Double kill, sudah kena efisiensi anggaran juga kena lagi pengurangan anggaran gara-gara korupsi besar-besaran, yang akibatnya proyek strategis terancam mangkrak, seperti pembangunan jalan, jembatan dan fasilitas umum lainnya juga bisa terhambat,” pungkasnya.
Ia berharap pemerintah bisa bergerak cepat dalam menangani hal ini, seperti janji bapak Prabowo saat baru dilantik menjadi Presiden yang akan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.
Editor: Andrian