INTIMNEWS.COM, JAKARTA – Sidang kasus tindak pidana korupsi PT ASABRI (Persero) sedang bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta. Majelis Hakim yang digawangi IG Eko Purwanto ini menyidangkan delapan terdakwa sekaligus.
Adapun delapan terdakwa tersebut yakni Direktur Utama (Dirut) Asabri periode 2011-Maret 2016 Rachmat Damiri, Dirut Asabri periode Maret 2016-Juli 2020, Sonny Widjaya, Direktur Asabri periode 2013-2014 dan 2015-2019, Hari Setianto, dan Direktur PT Hanson International, Benny Tjokrosaputro.
Kemudian, Direktur PT Trada Alam Minera dan Direktur PT Maxima Integra, Heru Hidayat, Dirut PT Prima Jaringan Lukman Purnomosidi, Dirut Jakarta Emiten Investor Relation, Jimmy Sutopo, dan Direktur Keuangan Asabri periode Oktober 2008-Juni 2014, Bachtiar Effendi.
Presidium Gerakan Reformasi Politik (Gerpol) Andrianto, mengkritisi cara kerja Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menangani korupsi di perusahaan pelat merah ini. Menurutnya, seharusnya BPK tidak jalan sendiri, semestinya bersinergi dengan lembaga yang berwenang dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apalagi, kasus Asabri ditengarai melibatkan orang yang punya “power besar” di negeri ini.
“Publik dari awal menginginkan KPK menangani peristiwa korupsi Asabri ini. Kalau yang operasionalnya oke Kejagung yang nanganin, tapi kalau level die hard dan teknis makernya, karena dalam kasus korupsi Asabri ini, ada tiga pihak yang terlibat yakni perencana, pelaksana dan penikmat,” kata Andrianto yang juga merupakan Aktivis 98 ketika dihubungi, Senin 27 September 2021.
Menurut hematnya, Kejagung hanya ‘menggaruk’ level pelaksana dan penikmat, sedangkan perencananya (die hard) tidak tersentuh. Karna mustahil dalam kasus korupsi yang mencapai Rp 22,788 triliun (hasil audit BPK-red) ini tidak melibatkan orang-orang yang memiliki kekuasaan sebagai aktor intelektual.
“Gak mungkin tidak melibatkan die hard atau aktor intelektual, apalagi yang terjadi sistem keuangan kita kan hancur banget. Kalau levelnya cuman miliaran itu mungkin saja (pelakunya para terdakwa korupsi Asabri-red). Pembobolan Asabri dan Jiwasraya memang dilakukan oleh sebuah sindikat, memang canggih. Tapi kan uang yang digarong adalah uang yang besar gak mungkin kalau cuman tipe individu yang bisa menggarong sebanyak itu. Menurut hemat saya gak masuk akal. Ini melibatkan kekuasaan,” jelas Andri.
Untuk menggeruk aktor intelektual (die hard) korupsi PT Asabri sekali lagi kata Andri harus diambil alih KPK. Jika tidak, kata ia, dikhawatirkan kasus Asabri tidak tuntas, dan hanya sampai level pelaksana saja.
“Agak mencurigakan. Harusnya kan ada kesepakatan MoU (nota kesepahaman) bahwa penanganan korupsi harus melibatkan KPK sebagai extraordinary. Di situlah KPK berdiri, kalau gak ada extraordinary makan Kejagung dan kepolisian aja yang ada kasus korupsinya” lanjut Andri.
Dari gelagat Kejagung dalam kasus ini, ada kesan bahwa mereka defense (pembela) seolah-olah kasus Asabri adalah perkara mereka.
“Kalau hemat saya KPK sebenernya mau masuk juga dalam perkara ini cuman gak bisa karena Kejagung gak mau memberikan. Pertanyaan kita ‘kenapa Kejagung gak mau memberikan?’, pasti Kejagung punya atasan lagi. Ini harus dikejar terus karena ini menyangkut kelompok pelaku utamanya orang yang punya kekuasaan,” ujar Andri.
Terlebih lagi, Andri mengatakan bahwa dana yang diselewengkan ini merupakan dana prajurit TNI yang dipotong sekitar Rp4 persen setiap bulan sebagai premi asuransi reksadana.
“Ini menyangkut uang prajurit TNI yang cape-cape, yang level bawah, kalo jendralnya kan pake ansuransi yang lain dan itu kan potong wajib dari prajurit garda terdepan penjagaan NKRI,” katanya.
Majelis Hakim Tendensius
Kejanggalan lain terlihat dari formasi Majelis Hakim Asabri yang juga menangani Jiwasraya. Adapun majelis hakim diketuai IG Eko Purwanto, dan anggota Rosmina, Saifuddin Zuhri, Ali Mutharom, dan MulyonoDwi Purwanto.
Hal ini tentu menimbulkan kecurigaan publik. Kemudian sikap majelis hakim yang terkesan tendensius dan arogan terhadap terdakwa di persidangan semakin mempertegas kecurigaan publik.
“Ketua majelis hakim tidak memberi kesempatan pada Penasehat Hukum (PH) untuk mengungkap fakta di persidangan, ada apa?,” ujar salah satu PH terdakwa Asabri.
Sehingga muncul perlawanan dari PH untuk melakukan petisi kepada Ketua Pengadilan Tipikor Jakarta Muhammad Damis agar formasi Majelis Hakim Asabri diubah. Tak hanya itu, majelis hakim menggabungkan sidang 8 terdakwa, hal ini tentu menjadi tidak efisien.
Kuasa Hukum Benny Tjokrosaputro, Fajar Gora keberatan bila para terdakwa disidang secara bersamaan karena nomor perkara delapan terdakwa berbeda.
“Artinya perbuatan yang didakwakan kepada masing-masing terdakwa juga berbeda,” kata Fajar kepada wartawan, Jumat (17/9) dikutip dari detiknews.
Menurutnya aneh, jika perkara tersebut diperiksa secara bersamaan. Bahkan, majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini juga hanya satu. Selain itu, jika perkara tersebut digabungkan maka akan memakan waktu sangat lama dan bisa berpengaruh terhadap putusan hakim.
“Mungkin saja, karena terlalu lelah maka bisa saja berpengaruh tidak saja pada majelis hakim, tapi juga saksi, dan penasehat hukum para terdakwa,” katanya.
Ia pun membandingkan dengan kasus manajer investasi Jiwasraya yang disidangkan secara terpisah. “Di mana ada 13 terdakwa, namun banyak majelis hakim yang menyidangkan, sehingga sidang dapat dilakukan secara terpisah dan efektif,” katanya.
Senada kuasa hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk juga menyebutkan bahwa keberatan yang disampaikan oleh para kuasa hukum bukanlah untuk membuat kericuhan namun bagian dari usaha membela hak-hak para terdakwa.
“Alasan kami untuk menolak sidang bersamaan sangat jelas, yang pertama sebagaimana diketahui berkas perkara 8 terdakwa dilimpahkan ke pengadilan secara terpisah sehingga ada 8 nomor perkara,” ujar Kresna.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyarankan sidang Asabri dilakukan secara terpisah mengingat kasus berbeda-beda setiap terdakwa.
“Ini lebih baik dipisahkan sesuai dengan porsi karena kasusnya khan beda-beda, tidak bisa dijadikan satu. Terlebih ini kasus berat, kasus korupsi triliunan,” ujar Trubus ketika dihubungi wartawan di Jakarta Jumat (24/9).
Menurut ia, dengan pengadilan terpisah diharapkan pembuktiannya lebih valid dan juga saksi-saksi yang dihadirkan lebih leluasa dalam memberikan kesaksian. “Karena per kasusnya juga berbeda. Berkaca dari kasus 13 manajer investasi di Jiwasraya memang harus dipisahkan, tidak bisa dengan cara disatukan seperti itu, nanti hakimnya tidak fokus, jadi putusannya kurang akurat,” ujarnya.
Trubus mengatakan, pembuktian merupakan tahapan yang paling berat, memerlukan bukti-bukti yang valid dan akurat, serta tenaga dan pemikiran tidak sedikit.
“Jadi, ini harus terpisah secara sendiri-sendiri dan diproses sesuai dengan aturan yang berlaku, sesuai dengan UU yang ada, alat bukti yang ada, semuanya harus fight itu” kata dia.
Benarkan Majelis Hakim Tidak Diintervensi?
Ketua majelis hakim IG Eko Purwanto menegaskan, bahwa majelis hakim kasus Asabri tidak bisa diintervensi oleh pihak mana pun. Hal ini ia sampai usai pembacaan putusan sela terhadap delapan terdakwa di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta pada, Senin (6/9).
“Apa pun putusan majelis hakim dalam perkara ini, baik putusan terhadap eksepsi yang sudah dibacakan tadi, ataupun tindakan-tindakan berikutnya seperti penetapan dan sebagainya, di sini majelis hakim tidak didasarkan pada suatu intervensi ataupun pemberian, apa pun juga bentuknya,” ujar Eko.
Eko menyampaikan pihaknya bersih dan tidak menerima intervensi dalam tiap keputusan. “Jadi majelis hakim di sini clean. Kami tidak menerima apa pun, tidak mendapat intervensi apa pun untuk memutus suatu perkara. Jangan sampai nanti kemudian ada anggapan-anggapan miring kepada majelis hakim. Ini perlu saya tekankan,” pungkasnya dikutip dari mediaindonesia.com.
Menanggapi pernyataan Eko, Pengamat Hukum Pidana Prof Mudzakir menilai bahwa majelis hakim tidak patut melontarkan bahasa tersebut. Dengan mengatakan ‘tidak diintervensi’ justru menimbulkan kecurigaan sebaliknya.
“Tidak patut mengatakan bahwa ‘majelis hakim diintervensi ataupun pemberian, apa pun juga bentuknya’, justru itu patut dicurigai bahwa kalau statement seperti itu tuh berarti dia pernah menerima. Kalau memang prinsipnya tidak boleh menerima tidak usah diomongin, karena aturannya memang tidak boleh menerima,” kata Mudzakir.
Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini memberikan contoh, “Tapi kalau dia boleh menerima kan saya menerima tapi jumlahnya sekian, kan kalimatnya begitu, tapi kalau enggak terima. Ya sama, saya tidak akan merampok, emang rampok kan enggak boleh, jadi kan enggak boleh diomongin, yang boleh ajakan yang diomongin,” pungkasnya.