INTIMNEWS.COM, SAMPIT – Mantan Wakil Ketua DPRD Kalimantan Tengah (Kalteng) Heriansyah menyebutkan, akan menjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) jika PT Bintang Sakti Lenggana (BSL) memaksa masyarakat membebaskan lahannya.
“Sepanjang masyarakat menolak tidak bisa dipaksakan, maka akan terjadi pelanggaran HAM. Selain itu juga akan ada kerugian negara akibat penggarapan lahan di luar HGU, bahkan juga terancam pidana akibat kerugian pajak serta ekonomi masyarakat non material,” ungkap Heriansyah, Senin 31 Oktober 2022.
Menurutnya, pidannya yakni yang merugikan keuangan negara patut dituntut dan diaudit masyarakat melalui Kepala Desa dan BPD. Pihaknya bisa mempertanyakan izin HGU PT BSL. Dirinya meyakini bahwa skenario seperti demikian sudah lama berjalan.
“Sehingga harus diberantas sampai ke akarnya, terjadinya mafia tanah dan perijinan fiktif, demi dan kritik kebijakkan yang tdk pro-rakyat. Wakil rakyat dapil V Kotim harus turun gunung,” tegasnya.
Dirinya menegaskan, anggota DPRD Kotim sejatinya harus bertindak demikian demi kepentingan masyarakat. Menurutnya, wakil rakyat yang duduk di kursi legislatif digaji bukan hanya untuk bicara saja, tapi menjalankan fungsi pengawasan.
“Jangan sampai hutan kita menjadi cerita fiksi cucu kita, data metrik acuannya. Saya menganggap ini adalah kebijakan salah sasaran. Sesuai data metrik perkembangan usaha perkebunan besar dari Dinas Perkebunan Kalteng pada 30 Juni 2018 izin pelepasan kawasan hutan atau HGU PT BSL tertulis dalam proses perisinan,” ungkapnya lagi.
Artinya, kata Heriansyah perkebunan tersebut belum bisa beroperasi, karena izin Bupati Kotim padaluasan pengajuan 6.390 hektare, namun pada tahun 2014, BPN Kotim tidak ada IUP dikeluarkan pelepasan kawasan hutan oleh BKPM 5.906.07 hektare.
“Tahun 2017 HGU tidak ada artinya bila bisa operasional serta dicabut oleh Kemenlhk meliputi lima desa, yaitu Tumbang Kalang, Tumbang Manya, Kuluk Telawang, Sei Puring dan Tumbang Ngahan di Kecamatan Antang Kalang,” bebernya.
Menurutnya, penetapan tersebut tidak busa diubah sesukanya oleh pihak PT BSL, konflik tersebut pasti terjadi karena adanya oknum pihak pemerintah daerah dan oknum masyarakat, baik tokoh perangkat Desa atau adat yang disponsori oleh pihak perusahaan.
“Fakta ini Bapak Bupati Kotim dan Kepala Desa harus membongkar masalah yang selama ini banyak merugikan masyarkat, apalagi lahan tersebut sudah kawasan APL sebelum pihak perusahaan keluar izinnya serta pihak BPN sudah melaksanakan program PTSL,” tutur Heriansyah.
Menurutnya ada penguasaan fisik SP2FBT pada pihak kepala Desa dan BPD yang wajib dimempertahankan pada hutan tersebut, umpamanya lanjutnya, uuntuk plasma atau kemitraan mengapa harus diluar inti, andai saja izin HGU kaya Heriansyah ada 100 persen dari inti.
“Kecuali yang sudah tanam sebelum Permentan 98 tahun 2013 berlaku Desa Tumbang Ramei tidak masuk dalam ploting izin PT BSL, Bapak Bupati harus bijak menyikapi hutan, ini jangan sampai yang terdahulu terulang lagi, warga lokal jadi penonton di kampungnya sendiri,” demikiannya. (**)
Editor: Irga Fachreza