INTIMNEWS.COM, PALANGKA RAYA – Ketua Koordinator Wilayah Kalimatan Tengah, Badan Koordinasi Mahasiswa Papua (BKMP) Se-kalimantan, Alte Gwijangge memberikan kritik terhadap Pemerintahan setelah diketahui RUU Otsus jilid ll memang disahkan DPR RI, Kamis 15 Juli 2021.
Diketahui DPR RI telah menyetujui pengesahan RUU Nomor 21 Tahun 2001 tentang perubahan kedua tentang otonomi khusus (Otsus) bagi provinsi Papua menjadi Undang-undang. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
“Otsus disahkan dari Jakarta oleh Jakarta untuk Jakarta, dan demi kepentingan elit-elit kapitalisme asing, bukan untuk orang asli Papua. Kami orang asli Papua masih tetap tolak otsus jilid ll, karena dinilai otsus telah gagal dan tidak dapat mampu menjawab setiap masalah persoalan pelanggaran HAM di tanah Papua,” ujarnya kepada Intimnews, Minggu 19 Juli 2021.
Menurutnya, pembahasan perubahan dalam RUU untuk diperpanjangkan pun tidak ada melibatkan juga mendengarkan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan petisi Rakyat Papua (PRP). “Namun hanya segilintir oknum yang mengatasnamakan demi kepentingan elit politikus Jakarta dan kapitalis asing,” ucapnya.
Ia memastikan bahwa pengesahan RUU Otsus Papua terbaru ini tidak akan dapat berjalan dengan baik, malahan menambah persoalan besar lagi di tanah Papua.
Ia menyebut dalam pembahasan revisi UU Otsus jilid ll ini pun tidak memadai perwakilan OAP (Orang Asli Papua), seperti Tokoh Masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, bahkan tokoh Perempuan, juga Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
“Padahal mereka semua ini adalah akar rumput yang perlu ikut hadir dalam pembahasan dan pengesahan merivisi UU OTSUS JILID II itu,” sambungnya.
Selain itu, RUU Otsus juga telah dinilai gagal untuk menjamin perlindungan hak bagi orang asli Papua, seharusnya pemerintah melibatkan masyarakat Papua dalam pemilihan dan penentuan perancangan pelaksanaan otonomi khusus sebelum di sahkan.
Pada UU sebelumnya,pemekaran Provinsi Papua dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPRP dengan memperhatikan kesatuan sosial budaya, Sumber Daya Manusia (SDM) dan kemampuan Ekonomi.
Sementara dalam RUU Otsus, hanya segilitir elit politikus lokal papua dan DPR RI yang memiliki wewenang untuk melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota mejadi daerah otonom.
“Pasal 76 jelas melanggar undang-undang sebelumnya, melemahkan wewenang Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural orang asli papua dan memperkuat wewenang pemerintah pusat di Papua,” jelasnya.
Alte mengungkapkan bahwa ini peristiwa lama yang terulang dan paling sadis, karena mirisnya sama dengan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Pada tahun 1969. Dalam kutipan satu orang satu suara (one people-one soul), hal paksaan dengan todongan senjata. “Akhirnya hari ini Otsus juga nasib yang sama dengan PEPERA 1969,” tuturnya.
“Ke depan, jaminan perlindungan hak-hak Orang Asli Papua berpotensi semakin terancam,” pungkasnya.