Oleh : Nurahman Ramadani, S.H., M.H
Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, dan untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan terutama dalam sistem peradilan di Indonesia. Secara filosofi anak sebagai bagian dari generasi muda, sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa dimasa yang akan datang, yang memiliki peran strategis serta mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan yang khusus pula.
Secara filosofi anak sebagai bagian dari generasi muda. Sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, Anak memiliki peran strategis serta mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan yang khusus pula.
Indonesia sendiri sebagai anggota PBB, telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip pelindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan pelindungan khusus terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum.
Keseriusan pemerintah Indonesia tentang Konvensi Hak Anak diwujudkan melalui Kepres No. 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak), menandakan bahwa Indonesia secara nasional memiliki perhatian khusus terhadap hak-hak Anak.
Berkaitan dengan penjabaran hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak, pada prinsipnya memuat empat kategori Hak Anak, yakni hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), hak terhadap perlindungan (protection rights), hak untuk tumbuh kembang (development rights), dan hak untuk berpartisipasi (participation rights).
Anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
Karena itulah pemerintah menetapkan beberapa Undang-Undang yang berkaitan dgn perlindungan Hukum dan HAM terhadap Anak-anak yaitu : UU No. 23 Tahun 2002 Jo UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan UU No. 11 TAHUN 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak, untuk menjamin dan menjaga terwujudnya perlindungan dan penegakan sistem hukum yang efektif pada anak sebagai korban dan pelaku dalam sistem hukum di Indonesia sebagai keseriusan Pemerintah Indonesia dalam meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA).
Terdapat 4 (empat) prinsip yang harus kita laksanakan dalam KHA, yakni non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang, serta harus menghargai hak anak untuk berpartisipasi dan bersuara dalam proses pembangunan bangsa.
Penulis sangat disesalkan kejadian pengeroyokan yang terjadi di kota Sampit yang berawal dari saling olok dalam permainan futsal pada kegiatan ekstrakurikuler sekolah membuat seorang siswa kelas 11 Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) menjadi korban pemukulan, Rabu 22 Desember 2021. (https://beritasampit.co.id/2021/12/22/saling-olok-usai-main-futsal-seorang-siswa-sman-1-sampit-jadi-korban-pemukulan/). Terlebih lagi dilakukan oleh remaja di bawah usia 17 tahun.
Langkah tepat telah dilakukan oleh Kapolsek Ketapang AKP. Samsul Bahri, mengedepankan mediasi (Penerapan Restorative Justice dan Diversi) atau penerapan pertanggungjawaban pidana agar kejadian yang serupa tidak terulang kembali yang tentunya harus tetap memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak pada sistem peradilan bagi anak yang berhadapan dengan hukum tersebut.
Menghadapi kasus anak yang terlibat persoalan hukum, tentu penyelesaian dan perlakuannya harus berbeda dengan prosedur orang dewasa. Dalam prosesnya harus dilakukan dengan cermat, agar anak tetap mendapat perlindungan secara maksimal.
Polisi sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum pidana diharapkan mampu menggunakan kewenangannya untuk kepentingan terbaik bagi anak yang berhadapan dengan hukum. (sebagaimana di kemukakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia).
Karena itulah segala tindakan kepolisian pada anak yang berhadapan dengan hukum harus menghindari anak mendapatkan perlakuan tidak secara manusiawi, diskriminatif dan tumbuh kembang anak yang akan berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Hal itu juga tertuang dalam pada UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mengandung makna bahwa kasus-kasus anak yang terlibat persoalan hukum harus ada penanganan secara khusus, yaitu mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Sistem peradilan pidana anak ini megutamakan pendekatan Keadilan Restoratif, yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Mengingat kekhususan yang dimiliki anak, baik dari segi rohani dan jasmani, maupun dari segi pertanggungan jawab pidana atas tindakannya, maka haruslah diusahakan agar pemidanaan terhadap anak terutama pidana perampasan kemerdekaan merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) bilamana upaya lain tidak berhasil.
Akan tetapi terdapat perlakuan tidak etis yg dilakukan oleh aparat kepolisian Polsek Ketapang di kota Sampit dengan mempertontonkan anak-anak pelaku pengeroyokan tersebut di halaman Polsek Ketapang dengan tidak menggunakan baju atasan mereka, seakan sama dengan pelaku kriminal dewasa yang bertentangan dengan tugas Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak, khususnya anak yg berhadapan dengan hukum. Dimana perlindungan Khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud harus dilakukan secara manusiawi, serta tidak merendahkan martabat dan derajatnya sesuai dengan pasal pada pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) huruf b Jo pasal 64 huruf a dan e dalam UU No. 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Pendapat ini sejalan dengan beberapa prinsip-prinsip Terkait Perlindungan Anak dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yaitu : 1. Pelindungan, yang dimaksud dengan ”pelindungan” meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang
membahayakan Anak secara fisik dan/atau psikis; 2. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak, yang dimaksud dengan ”kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak” adalah hak asasi yang paling mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua; dan 3. Proporsional,
yang dimaksud dengan ”proporsional” adalah segala perlakuan terhadap Anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi Anak.
Pendapat saya ini bukan berarti mendiskreditkan upaya yang dilakukan oleh jajaran Polsek Ketapang dalam menangani perkara ini, akan tetapi agar menjadi koreksi terhadap penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum yang lebih mengedepankan tindakan yang proposional dan efektif sebagai perwujudan pelindungan Hukum dan HAM anak yang berhadapan dengan hukum, sebagaimana yang di kemukakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo bahwa filosofi hukum yang sebenarnya. “Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum,” hukum bertugas melayani masyarakat, bukan sebaliknya. Kualitas suatu hukum, menurutnya, ditentukan dengan kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia.*
(Penulis : Advokat & Dosen Hukum Pidana STIH Habaring Hurung Sampit)