INTIMNEWS.COM – Anggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 dijamin aman alias tidak berkurang sama sekali. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian memastikan dana tersebut tidak direalokasi untuk penanganan pandemi COVID-19.
“Saat ini terdapat sisa anggaran Pilkada 2020 senilai Rp9,1 triliun. Dari total pagu anggaran Pilkada Rp15 triliun. Sebanyak Rp5,9 triliun sisanya sudah digunakan untuk lima tahapan Pilkada sebelum masa pandemi COVID-19. Mendagri dan Menteri Keuangan sudah mengeluarkan peraturan untuk Rp9,1 triliun tersebut. Selanjutnya itu dibekukan. Jadi tidak boleh digunakan. Termasuk tidak boleh untuk COVID-19. Karena masih ada realokasi dari pos-pos lain,” tegas Tito saat konferensi pers secara virtual di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (17/6).
Pemerintah, lanjut Tito, ingin menjaga ketersediaan anggaran Pilkada. Tujuannya mengantisipasi agar dapat terlaksana pada Desember 2020. “Sekalipun, nantinya Pilkada tertunda hingga 2021 karena COVID, pemerintah masih memiliki kesiapan dana untuk pendanaan operasional Pilkada,” jelas mantan Kapolri ini.
Dengan kesiapan dana tersebut, tahapan Pilkada dapat berjalan lancar. Mantan Kapolda Metro Jaya ini menegaskan Pilkada tidak boleh terhambat. Pilkada merupakan perhelatan politik penting untuk memfasilitasi suara rakyat dalam menentukan pemimpin di daerahnya. “Jangan sampai kita tidak paham, dinamika anggaran ini seperti apa. Agenda politik ini harus berjalan. Karena 280 kepala daerah akan berakhir masa tugasnya. Kepala daerah yang terpilih adalah yang dipilih rakyat. Legitimasinya kuat, bukan yang dipimpin oleh Pelaksana Tugas oleh Kemendagri,” paparnya.
Selain itu, Kemendagri juga sudah menerbitkan surat agar dana pilkada bisa dicairkan. Karena KPU pada 15 Juni 2020 lalu, sudah memulai tahap lanjutan. Di antaranya pengaktifan KPUD seluruh Indonesia. Selain itu, Kemendagri sudah menyetujui penambahan anggaran untuk Pilkada Serentak 2020 sebesar Rp5,1 triliun. Dana ini akan digunakan untuk pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi penyelenggara pemilu dan pemegang hak suara.
“Ada permintaan tambahan dana untuk 276 ribu jadi 374 ribu TPS (Tempat Pemungutan Suara). Ditambah APD dengan mengambil model Korea Selatan yang melakukan pemilu legislatif di puncak pandemi. Sebanyak Rp 5,1 triliun ini mungkin akan dipenuhi. Menteri Keuangan sementara ini akan eksekusi tahapan Rp1,2 triliun,” ucap mantan Kadensus 88 Antiteror Polri ini.
Sementara itu, Ketua DPD RI, La Nyalla Mahmud Mattalitti menegaskan lembaganya siap mengevaluasi proses pilkada. Salah satunya melibatkan senator di masing-masing daerah. “Nanti setiap senator di 32 provinsi yang menggelar pilkada, minus dua provinsi, melakukan pengawasan proses dan tahapannya. Termasuk, terhadap sejumlah daerah yang meminta bantuan pendanaan dari pusat,” kata La Nyalla, di Jakarta, Rabu (17/6).
Menurutnya, Perppu Nomor 2/2020 memberi peluang dilakukan evaluasi terhadap Pilkada 9 Desember 2020. Terutama selama pandemi COVID-19. “DPD akan konkretkan dengan Kemendagri terkait proses keterlibatan senator dalam pengawasan tersebut,” imbuhnya.
Wakil Ketua II DPD RI, Mahyudin menyatakan ada dua spektrum terkait Pilkada 9 Desember 2020. Yaitu hasil kajian dan sikap Komite I DPD yang menolak pilkada digelar Desember 2020. Sedangkan pemerintah dan KPU memutuskan memulai tahapan pilkada. “Maka diperlukan kearifan bersama menyikapi secara bijak dan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Selain itu, menyadari tugas pokok dan fungsi legislasi, pengawasan dan pertimbangan anggaran yang diamanatkan kepada DPD,” terang Mahyudin.
Dari laporan reses 34 provinsi, ada sejumlah daerah yang siap melaksanakan Pilkada Desember 2020. Ada juga yang tidak siap dan ingin ditunda. Khususnya terkait pendanaan yang berasal dari APBD. Sehingga sejumlah kepala daerah meminta dukungan senator agar mendapat bantuan dana dari pusat.
“Sidang Paripurna DPD RI mengapresiasi kesimpulan rapat Komite I dengan Mendagri. Yakni agar dalam setiap pembahasan dan pengambilan keputusan terkait tahapan pilkada yang dilakukan penyelenggara bersama pemerintah, melibatkan DPD RI. Hal ini sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku dan keputusan MK terkait kewenangan DPD,” urai senator asal Kalimantan Timur tersebut.(int)