Oleh: Sahabudin Letsoin/BPL PB HMI
Plato atau Platon (sekitar 427-347 SM) adalah peletak dasar aliran filsafat idealisme. Dalam deretan mahsyur yang mewarnai Alam Pikiran Yunani, Plato berada di tengah, antara Sokrates (sekitar 470-399 SM) dan Aristoteles (sekitar 384-322 SM): gurunya adalah Sokrates; salah satu muridnya yakni Aristoteles.
Ia menggubah aliran filsafat idealisme, bahwa kebenaran mutlak terletak pada isi kepala yang antik, sedangkan materi hanyalah tiruan, kepalsuan-kepalsuan yang terangkum indera.
Setelah melewati era kesedihan mendalam karena kepergian Socrates yang meneguk racun kebenaran. Kemudian ia menyelesaikan pengembaraan yang panjang. Lalu pada tahun 380-an sebelum masehi, Plato mendirikan sebuah perkumpulan pembelajar yang menjadi cikal bakal lahirnya perguruan tinggi, hingga dunia modern ini. Perkumpulan tersebut berlokasi di luar tembok kota Athena, tepatnya di sebelah Barat Laut. Namanya Academia.
Secara etimologi, Academia berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata academia, yang artinya taman umum. Kemudian diserap dalam bahasa Indonesia menjadi akademi, yakni lembaga pendidikan tinggi. Berangkat dari tinjauan historis, Academia diambil dari kata Academos, di mana Academos adalah seorang pahlawan lokal Athena, yang gugur ketika terjadi perang Troya yang melegenda itu. Sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasanya, hutan kecil di luar kota Athena itu diberi nama Academos. Hutan itu dipadati pohon zaitun, yang dimana menurut seorang novelis Amerika Serikat saat berjumpa dengan Cak Nur di Timur Tengah, “kandungan zaitun sangat sarat, sehingga memanjakan orang Yunani zaman klasik untuk berfilsafat”.
Di Academia, Plato menjadi pionir sekaligus pengarah pergolakan intelektual yang suci. Hal ini penting untuk diperhatikan, semisal berbicara dalam konteks ruang intelektual, semestinya tidak ada kesenjangan antara senior dan junior. Hal tersebut mungkin serupa dengan Islam, tetapi harus mengedepankan adab. Karena junior belum tentu pengetahuannya lebih sedikit, dan senior belum tentu lebih pintar.
Ketika memberikan stadium general, Plato menggunakan metode ceramah, dan untuk sesi yang lain, ia menggunakan apa yang diterapkan oleh gurunya: dialektika (dialog). Di sana ia mengajarkan tentang banyak hal: filsafat; logika; seni dan perpolitikan.
Maka di plaza itu, orbitlah seorang filosof yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran dunia hingga saat ini: Aristoteles. Dalam perjalanannya, pasca Plato wafat, Aristoteles kemudian mendirikan sekolahnya sendiri, yaitu Lyceum. Aristoteles hiperbola, ia berharap menjadi penerus Plato di Academia. Kenyataannya, Academia diserahkan kepada Speusippus yang masih kerabat dengan Plato: paman dan keponakan.
Salah satu quotes yang indah dari Aristoteles yaitu “pendidikan mempunyai akar yang pahit, tapi buahnya manis”. Tafsiran subjektif menurut saya, setiap ikhtiar tentu diperhadapkan dengan tantangan dan rintangan. Takdirnya seperti sihir, dan kita akan tersenyum haru menyambutnya datang, bahagia setelah mampu menggenggamnya. Dalam pendidikan modern, tugas akhir menjadi hantu bagi banyak mahasiswa. Pilihannya adalah, lawan atau mengalah. Lalu hantu itu tak jarang mengundang air mata, yang jatuh dari kegelisahan, kecemasan, takut, dan kelelahan.
Plato dan Aristoteles terhubung secara sempurna: guru dan murid. Namun di antara mereka terdapat pertentangan pandangan yang sangat jelas: Plato seorang rasio, sedangkan Aristoteles representasi dari empirik. Dalam hal ini, perguruan tinggi adalah pasar bebas bagi setiap otak, baik yang berapi-api, maupun yang sunyi.
Namun perguruan tinggi tidak boleh hilang kendali dalam moralitas, karena kemajuan ilmu pengetahuan tanpanya adalah kebiadaban, bukan peradaban. Sehingga dalam merayakan wisuda yang sakral, barangkali kita beruntung, bisa menyaksikan air mata orang tua dalam damai dan merdeka.
Kerapkali saya mendapatkan pertanyaan menggelitik, dan krusial di forum-forum training HMI, “bisa tidak kita kembalikan HMI seperti masa lampau? HMI yang kader-kadernya intelek, dan peka terhadap persoalan yang dialami masyarakat”.
Jawaban saya adalah “itu sangat-sangat bisa, tapi semua harus by desain. Saya yakin, kuncinya masih di perkaderan. Hal yang harus kita lakukan adalah, memulihkannya pelan-pelan, dan perlu beberapa generasi untuk mencapai harapan yang kita inginkan itu. Para kader harus dibentuk menjadi individu yang ideolog, sehingga mereka akan sulit tergoyahkan”.
Semua elemen yang terlibat di dalam perkaderan HMI harus mengambil pelajaran dari kesejarahan seorang Plato. Plato yang meneladani gurunya, dan mampu memproduksi para murid yang hebat. Kata kuncinya adalah, kita harus membentuk budaya organisasi yang positif, tercermin dari ciri-ciri kader yang cerdas, ideolog, bertanggung jawab, peka terhadap isu kebangsaan dan keumatan. (**)