Risha Amelia
Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya
Kepatuhan pajak memang menjadi salah satu permasalahan paling mendasar di sistem perpajakan Indonesia. Terlebih setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2018 tentang penetapan tariff PPh sebesar 0.5% bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Penetapan PP ini menjadi perbincangan masyarakat. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan masih banyak pelaku usaha yang nakal dengan menunda-nunda pembayaran pajak usaha mereka.
Kurang patuhnya pelaku usaha ini dikarenakan rendahnya pemahaman mereka tentang self-assessment yang seharusnya dimiliki oleh tiap diri pelaku bisnis. Kemudahan yang diberikan oleh pemerintah dengan menciptakan sistem pembayaran online seharusnya bisa dimanfaatkan oleh para pelaku usaha dan tetap patuh membayar pajak mereka.
Di era digital saat ini, kepatuhan pajak seharusnya lebih mudah dilaksanakan dan beralaskan sistem. Semakin pemerintah memudahkan pelaku bisnis dalam pembayaran pajak, maka semakin besar juga sanksi dan denda pajak bagi mereka yang tetap enggan membayar pajak. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah dengan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) melalui aplikasi yang bisa diakses di gawai wajib pajak.
Meskipun sudah diberi kemudahan oleh pemerintah, mengapa wajib pajak (pelaku usaha) masih enggan membayar pajak? Pada dasarnya terdapat empat hal pokok yang harus dimiliki oleh seorang wajib pajak, yaitu kejujuran, disiplin, kesadaran hukum dan keinginan membayar pajak itu sendiri. Ketika wajib pajak telah mematuhi keempat hal pokok tersebut, seharusnya mereka telah memperoleh kebajikan dari pajak itu sendiri.
Perlunya untuk melaksanakan kebajikan ketika pemungutan pajak tidak hanya karena peraturan yang ditetapkan, tetapi harus didasari secara filosofis dan yuridis. Wajib pajak harus memiliki kesadaran hukum agar secara sukarela menaati dan mematuhi hukum yang berlaku seakan-akan hal itu menjadi bagian dari filosofis dan yuridis.
Saat ini masyarakat Indonesia tengah berada di arus perkembangan e-commerce yang sangat berpengaruh pada kesadaran hukum seseorang tentang pajak. Salah satu contoh kasus terbarunya adalah ketika penerbitan PMK 210/2018 yang memiliki dua sudut pandang di mata para wajib pajak. Jika dianalisis berdasarkan hukum, terdapat dua jenis kebajikan didalamnya. Pertama, peraturan yang tersebut memberi penjelasan kepada masyarakat tentang alur administrative pembayaran pajak. Sedangkan sudut pandang lainnya menilai bahwa PMK 210/2018 ini hanya memberi kesulitan yang lebih bagi wajib pajak dan dinilai ‘merepotkan’ karena rangkaian prosuder didalamnya. Mengetahui kedua sudut pandang ini, maka pemerintah perlu untuk menimbang kembali kebijakan ini. Bagaimana jika diperoleh sudut pandang ketiga? Misalnya dengan memberi sanksi pidana? Dikhawatirkan akan memperhambat perkembangan e-commerce di Indonesia.
Tujuan dibentuknya aplikasi untuk mempermudah pembayaran pajak adalah untuk memberi kejelasan pada masyarakat tentang kepastian hukum dan meningkatkan kepatuhan, sehingga pembayaran pajak tidak lagi dinilai sebagai suatu kewajiban yang sifatnya kaku. Kemudahan administrative yang ditawarkan pemerintah ini perlu dibuat sesederhana mungkin agar dapat diakses oleh seluruh kalangan, terutama orang tua yang memiliki ketebelakangan teknologi. Menyadari hal-hal tersebut, maka pemerintah perlu mengkaji kembali kebijakan yang telah ditetapkan dan untuk pelaku bisnis perlu menjayadari kebajikan dari pemungutan pajak tersebut. Cara yang dapat ditempuh beragam, misalnya dengan melakukan pemungutan pajak secara adil agar mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.