Oleh: Anisa Rasyidiah Musfirah, Mahasiswa UIN Malang
Dulu di SMA orang-orang KPU datang bawa penyuluhan tentang pemilu untuk anak-anak SMA, yang menjadi pembicara adalah Ketua Umum KPU sendiri. Menyampaikan materi tata cara memilih bakal calon pemimpin.
Sebelum menerangkan tentang pedoman umum pemilihan, Ketua tersebut menceritakan sedikit kisah hidupnya yang mengantarkannya menjadi ketua umum KPU. Sehingga sebab itulah ia berdiri di hadapan kami. Lalu ia bertanya usai bercerita tentang dirinya “siapa di sini yang ingin menjadi ketua KPU?”. Tentu saja beberapa siswa SMA kami angkat tangan dan mantap mengatakan “Saya”.
Namun ternyata para siswi tidak ada yang mengangkat tangan. Ketua KPU bingung, lalu ia menanyakan salah seorang siswi yang duduk paling pinggir di baris kedua. “Kamu kenapa nggak mau jadi Ketua Umum KPU”.
Jawabannya ternyata waktu itu cukup realistis bagiku. “Saya ingin jadi istrinya ketua KPU saja Pak”.
Jawaban itu memang jawaban yang sangat mudah terucap, jenis jawaban yang tidak mengherankan, mengingat perempuan masih seperti ‘bonsai’ yang digambarkan Wollstone Craft seorang tokoh feminis abad 18.
Kemarin saya dan teman-teman organisasi mendapat undangan merayakan ulang tahun salah satu organisasi semi otonom yang khusus bagi anggota perempuan dan masih merupakan kepanjangan dari organisasi kepalanya. Forum itu sebenarnya adalah forum untuk merayakan ulang tahun, namun juga karena masih dalam perayaan hari Ibu maka forum itu ikut serta merayakannya.
Singkat cerita dalam forum tersebut telah dipersiapkan beberapa pembicara perempuan yang mengambil dari tiga aspek ruang peran perempuan yaitu sebagai anak sebagai istri dan sebagai ibu. Pada bagian peran perempuan sebagai istri seorang perempuan diminta menceritakan pengalamannya sebagai istri.
Apa yang berbeda dengan dengannya adalah Ia merupakan Istri seorang Wali Kota, maka kehadirannya saat itu adalah sebagai istri Wali Kota.
Satu lagi aku melihat apa yang dikatakan Wollstone Craft sebagai fenomena ‘bonsai’. Perempuan selalu saja terbentuk sesuai apa yang dikenakan kepadanya dan terbelenggu.
“Perempuan adalah agen bernalar yang dapat menentukan Jalan hidupnya sendiri”.
Maka mengapa ia dinilai sebagai suatu dari sesuatu yang lain. Boleh tidak menilai Nyai bukan karena istri Kyai?, boleh tidak menilai perempuan bukan karena suaminya?. Dalam peranannya sebagai anak, ia dinilai sebagai nilai yang dibawa Bapaknya, dalam peranan sebagai istrinya dinilai dengan nilai yang tersanding pada suaminya, dalam perannya sebagai ibu ia dinilai sebagaimana anaknya.
Sebab kemenjadiannya yang terus bergantung pada nilai sandingan orang lain. Ia tidak pernah tumbuh lebih besar lagi. Kendati bagi sebagian perempuan ruang-ruang tersebut adalah dimensi yang ingin ditempuhnya berdasarkan pilihannya sebagai agen bernalar. Namun yang menurutku terbelenggu semua itu tidak seharusnya terjadi.
Seorang teman memberiku saran ketika kami sedang berbincang di atas motor, “Menurutku kamu nggak harus mengorbankan mimpi-mimpimu apapun keadaannya. Jangan jual mimpimu”.
Namun aku bisa bayangkan perempuan dalam 3 dimensi itu yang sudah lama menjual mimpi-mimpinya sebab alih-alih mengambil tanggung jawab untuk kemajuan dirinya sendiri mereka membiarkan dirinya diperlakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan statusnya sebagai agen yang bernalar (manusia utuh) begitulah tegas Wollstone Craft
Semoga Ibuku yang aku bisa bayangkan telah menjual mimpinya demi dimensi yang ia pilih sebagai “Mamaku” suatu saat akan kembali dan menarik kembali mimpi-mimpinya yang terjual lalu. Di hari ibu ini aku hanya ingin setiap perempuan terkhusus Ibuku, melakukan apa yang ingin ia lakukan tanpa terhalang apapun.
Selamat hari ibu. Semoga perempuan dapat tumbuh menjadi pohon Redwood besar dan menyadari nilainya tak bergantung pada orang lain. Mengutip Simon Behavior, “One is not born rather become a woman”.
Kita tidak terlahir langsung menjadi perempuan melainkan menjadi perempuan adalah sebuah proses dan proses kemenjadian tidak pernah berujung.
Editor: And