Oleh: Hengky Sufiantoro
INTIMNEWS.COM – ISLAM Inklusif adalah islam yang bersifat terbuka. Terbuka disini tidak hanya masalah berdakwah atau hukum, tetapi juga masalah ketauhidan, sosial, tradisi, dan pendidikan. Hal ini disebabkan karena ada sebagian kelompok atau suku yang beranggapan bahwa semua agama itu benar. Lalu, bagaimana doktrin dan sejarah dari Islam Inklusif? Doktrin yang ada yaitu:
1) Mengakui kebenaran semua agama.
Islam mengakui hak hidup agama-agama lain; dan membenarkan para pemeluk agama lain tersebut untuk menjalankan ajaran agama masing-masung. Kitab Suci al-Qur’an menjelaskan seperti dalam QS al-Baqarah/2: 62 dan al-Maidah/6: 69 menjamin keselamatan para pemeluk agama lain, bahkan kedua ayat ini dijadikan sebagai dasar pemikiran Islam inklusif. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’in, siapa saja yang beriman kepada Allah, Hari Kemudian, dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS al-Baqarah/2: 62).
2) Tidak ada paksaan dalam beragama.
Secara eksplisit al-Qur’an mengajarkan bahwa dalam hal agama atau kepercayaan, manusia diberi kebebasan untuk mengetahui, memahami, dan mempertimbangkannya sendiri. Keistimewaan tersebut diberikan kepada manusia, karena manusia memiliki yang istimewa pula, yang oleh Nurcholis Madjid diistilahkan dengan “sesuatu dari Ruh Tuhan”, sehingga manusia mempunyai kesadaran penuh dan kemampuan untuk memilih. Karena, agama merupakan rangkaian ‘ilmiyyah (pengetahuan) yang diikuti oleh ‘amaliyyah (perwujudan perilaku) dan menjadi kesatuan i’tiqadiyyah (keyakinan) yang merupakan persoalan hati, bagaimanapun agama tidak dapat dipaksakan oleh siapapun.
3) Kesatuan kenabian.
Islam mengajarkan pada kaum Muslim agar beriman kepada para nabi dan rasul, tidak hanya kepada Muhammad S. A. W., tetapi juga kepada yang lainnya sejak yang pertama hingga yang akhir. Keimanan tersebut tidak hanya terbatas pada mereka yang disebutkan oleh al-Qur’an atau hadits Nabi Muhammad S.A.W., tetapi juga mereka yang tidak disebutkan. Keimanan kepada mereka sekaligus mengandung arti untuk tidak membeda-bedakan mereka, “Kami (Allah) tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka…” (QS al-Baqarah/2: 156). Karena pada dasarnya mereka juga adalah hamba pilihan Allah yang mendapat tugas kepada suatu kaum agar mereka berserah diri kepada Allah SWT semata.
4) Kesatuan pesan ketuhanan.
Al-Qur’an jelas memandang dirinya sebagai mata rantai kritis dalam pengalaman pewahyuan umat manusia. Secara khusus, Islam juga memiliki etos biblical Yahudi dan Kristen, dan Islam memiliki sikap luar biasa inklusif terhadap mereka, yang dengan mereka Islam terhubungkan dengan manusia pertama di bumi. Begitu juga keinklusifan tersebut diperlihatkan kepada agama-agama di luar keluarga Ibrahim. Karena itu risalah-risalah Tuhan dalam al-Qur’an pun bersifat universal dan berlaku untuk semua manusia, sebagaimana pula halnya dengan risalah-risalah yang disampaikan kepada para nabi dan rasul sebelumnya.
Sedangkan sejarah dari Islam Inklusif, menunjukkan Islam tampil secara inklusif dan sangat menghargai non-muslim. Umat Muslim mengimplementasikan teologi inklusif sepanjang sejarah Islam. Berawal dari hijrahnya para sahabat Nabi Muhammaad ke Habasyah (Ethopia) merupakan titik awal pertemuan dan kerja sama kaum Muslimin dengan Ahli Kitab (khususnya Nasrani). Meskipun ada klaim bahwa kebenaran agama ada pada Islam, namun dalam al-Qur’an juga disebutkan adanya hak orang lain untuk beragama. Sikap inilah yang menjadi prinsip pada masa kejayaan Islam sekaligus mendasari kebijakan politik kebebasan beragama. (**)