INTIMNEWS.COM, MELAWI –Angka putus sekolah di kabupaten Melawi terbilang tinggi. Penyebab tertinggi putus sekolah karena faktor ekonomi hingga dampak ladang berpindah.
Tanpa adanya upaya intervensi bersama, maka akan banyak generasi muda Melawi yang kehilangan kesempatan mendapatkan hak pendidikan yang layak.
Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan negara sesuai amanat UUD 1945. Namun, hingga usia 71 tahun kemerdekaan RI, segenap masyarakatnya masih belum mempunyai akses mengenyam dunia pendidikan formal selayaknya.
Data BPS Melawi pada 2022 menyebutkan 0,67 persen anak putus sekolah pada usia 7-12 tahun, meningkat menjadi 13,39 persen pada tentang usia 13-15 tahun dan tertinggi pada tentang usia 16-18 tahun dengan persentase 43,60 persen.
Dalam lokakarya Anak Tidak Sekolah Kabupaten Melawi yang digelar sepanjang 10-13 April lalu terungkap penyebab anak tidak sekolah mulai faktor ekonomi karena bekerja, membantu orang tua, menikah, motivasi belajar rendah, hingga faktor yang unik seperti karena mengikuti orang tua berladang berpindah.
Wakil Bupati Melawi, Kluisen pun mengaku prihatin dan khawatir dengan tingginya kasus anak tidak sekolah ini.
“Kita masih dihadapkan dengan berbagai kendala pendidikan salah satunya anak putus sekolah karena tradisi ladang berpindah,” ujarnya.
Khusus untuk tradisi peladang berpindah, tidak hanya orang tua atau kepala keluarga yang bermigrasi/berpindah mencari lahan lain untuk bercocok tanam, tetapi seluruh keluarga termasuk anak yang masih duduk di bangku sekolah.
Akibat dari tradisi ladang berpindah ini, maka banyak anak yang terpaksa putus sekolah.
“Tingginya angka putus sekolah wajib belajar 9 tahun tidak hanya diakibatkan oleh kebiasaan mengikuti orang tua untuk berladang berpindah. Penyebab lainnya adalah saat musim tanam yang membutuhkan waktu sampai dua atau tiga hari. Selama masa tanam, anak juga ikut orang tuanya ke ladang, sehingga mengganggu waktu sekolahnya. Biasanya sepulang dari ladang masih sangat lelah karena menempuh perjalanan jauh. Keadaan fisik yang masih lelah sangat berpengaruh terhadap minat dan motivasi. akibatnya waktu waktu belajar anak di sekolah terganggu dan tidak efektif,” paparnya.
Kluisen berharap untuk menyelesaikan hal ini, semua bpihak dapat bekerjasama dan bersinergi agar permasalahan anak putus sekolah karena tradisi ladang berpindah dapat kita tangani bersama dan mencari solusi terbaik agar anak-anak dapat menempuh setidaknya wajib belajar 9 tahun. Serta tingkat anak putus sekolah di Kabupaten Melawi dapat semakin menurun.
“Saya juga mengajak peran serta orang tua dan lingkungan masyarakat untuk bersama-sama bertangung jawab memberikan perhatian terhadap anak-anak agar hak-hak anak terpenuhi terutama dalam bidang pendidikan,” harapnya.
Karena, lanjut Kluisen, pada dasarnya pendidikan adalah suatu proses untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan seseorang.
Dengan menyediakan lingkungan dan sarana belajar yang kondusif, berinteraksi dengan anak secara emosional dan intelektual, memberikan kesempatan anak untuk dapat bereksplorasi dalam lingkungan yang lebih luas, memberikan keteladanan yang baik, menanamkan kebiasaan yang baik bagi anak. (**)
Editor: Irga Fachreza