INTIMNEWS.COM – Adanya pandemi COVID-19 yang terjadi, membuat seluruh peneliti di dunia berlomba-lomba melakukan penelitian untuk menemukan obat paling tepat mengatasi virus asal Wuhan, Cina ini.
Tak terkecuali dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Yuli Setiyorini ST MPhil PhD Eng dibantu oleh Sungging Pintowantoro ST MT PhD Eng yang melakukan riset teknologi berupa nano chitosan dengan metode baru.
Keduanya telah melakukan kolaborasi sejak 2010, fokus mengembangkan chitosan sebagai material untuk aplikasi medis dan industrial dengan metode yang ramah lingkungan dari bahan baku lokal.
Yuli Setiyorini menjelaskan bahwa chitosan merupakan biopolimer, polisakarida linier yang terdiri dari β-(1 → 4) yang terdistribusi secara acak D-glucosamine (unit terdeasetilasi) dan N-asetil-D-glukosamin (unit asetat).
Riset chitosannya ini merupakan chitosan yang tidak menggunakan bahan kimia (green technology) dengan memanfaatkan energi dari gelombang mikro. Sehingga produk yang dihasilkan sudah pada skala nano partikel (nano chitosan) dan memiliki sifat perbaikan jaringan yang lebih cepat.
“Untuk metode baru ini saya menggunakan bahan baku kulit udang dan limbah organik lain yang mengandung chitin seperti cangkang kepiting, beberapa cangkang binatang laut, tumbuhan jamur dan alga. Bahan baku tersebut saya pilih sebab jumlah limbahnya di Indonesia yang melimpah. Karena kalau limbah tersebut tidak diolah, malah dapat memicu terjadinya gas methane yang berbahaya,” jelas dosen yang akrab disapa Rini ini, Kamis (18/6).
Dosen Teknik Material dan Metalurgi ini mengungkapkan bahwas chitosan yang ia kembangkan bukan hanya untuk aplikasi medis saja, namun juga bisa diaplikasikan untuk industri pengolahan makanan, industri pertanian, industri perikanan, tekstil, kertas, sampai biosorption logam tanah jarang dan logam berat lainnya.
“Tapi yang paling utama adalah menciptakan kemandirian dalam membuat dan memproduksi sendiri dari bahan baku lokal dalam rangka meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dengan proses yang murah dan ramah lingkungan,” ungkapnya.
Produk chitosan hasil duetnya bersama Sungging ini diharapkan berkualitas medis dengan tingkat efisiensi yang tinggi, murah dan ramah lingkungan. Secara tidak langsung, hal tersebut menjawab tantangan isu dalam proses pembuatan chitosan yang saat ini masih belum efisien.
Bahkan, produk chitosan milik Rini ini beberapa sudah dilakukan uji baik uji in-vitro maupun in-vivo. Chitosannya ini juga telah diaplikasikan sebagai dental filler, bone cement, implant coating, antibacterial dan therapeutic agent.
Selain itu, pengujian secara klinis juga sudah dilakukan kepada pasien sukarela dengan trackrecord medis yang sudah tidak mampu lagi ditangani oleh dokter. Serta ada beberapa pasien yang memang tidak memiliki asuransi kesehatan tetapi penyakit yang diderita membutuhkan biaya yang besar seperti kanker, diabetes, bacterial diseases, virus diseases, COVID-19 dengan penyakit bawaan (penyerta), dan pneumonia serta beberapa penyakit lainnya.
Terkait penanganan pasien COVID-19 dengan chitosan sendiri dapat mengurangi replikasi virus dalam tubuh, sehingga memicu naiknya level makrofag, sel dendritik, dan sel NK (natural killer) yang memegang peranan penting dalam memproteksi diri dari infeksi virus. Selain itu, naiknya leukosit juga dapat mengaktifkan sel imun bawaan yang berdampak pada peningkatan sekresi sitokin.
Dimana sekresi sitokin tersebut berperan penting sebagai antiviral properties. Properties regeneration dari chitosan juga dapat memperbaiki jaringan yang rusak karena terinfeksi, di mana kerusakan jaringan paru menimbulkan kesulitan bernafas.
Ditambah sifat anti-inflamasi dan antioksidan dari chitosan dapat mengurangi proses peradangan dan stres oksidatif selama proses penyembuhan. “Pemilihan chitosan sebagai agen penyembuhan dikarenakan multi properties yang dimilikinya, yang berpotensi sebagai agen penyembuhan multifungsi,” ucapnya.
Pengujian secara klinis ini dilakukan Rini dengan memberikan chitosan secara gratis untuk terapi bagi yang membutuhkan. “Alhamdulillah, chitosan (penelitian) kami memberikan harapan bagi para pasien tersebut untuk sembuh,” kata alumnus Curtin University of Technology, Western Australia ini.
Ketika disinggung terkait kendala risetnya, lulusan ITS tahun 2003 ini mengatakan bahwa biaya produksi dan rumitnya birokrasi kesehatan menjadi kendala terbesar.
Untuk itu, ia berharap adanya mitra yang juga memiliki jiwa kemanusiaan dan sosial untuk program gratis chitosan bagi yang membutuhkan terutama bagi masyarakat tidak mampu.
Ia juga menegaskan bahwa mitranya tidak terbatas dari golongan akademisi dan profesional, tetapi juga terbuka untuk industri dan investor. Selain itu ia berharap adanya perubahan kebijakan dan birokrasi yang rumit, sebab hal tersebut sangat menghambat perkembangan riset menuju fase komersialisasi produk.
“Dengan adanya penelitian ini Indonesia tidak lagi bergantung pada produk impor, sehingga kemandirian pada bahan baku lokal yang dapat dikelola dan dimanfaatkan bisa diaplikasikan untuk pemenuhan masyarakat Indonesia dengan proses yang lebih efisien dan ramah lingkungan,” pungkasnya.(int)