INTIMNEWS.COM, PANGKALAN BUN – Petani kelapa sawit terancam bangkrut dalam tiga bulan bulan ke depan. Anggota Komisi IV DPR RI, Bambang Purwanto, mengatakan, petani kelapa sawit kesulitan akibat adanya larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO).
“Petani diperkirakan bisa bangkrut paling lama tiga bulan dan ini akan berdampak sampai dua tahun ke depan,” kata Bambang Purwanto, Rabu (13/7/2022).
Bambang Purwanto menjelaskan kebangkrutan petani itu disebabkan oleh bergantungnya petani kepada perusahaan kelapa sawit (PKS). Sebab, hasil panen yang didapatkan di perkebunan nantinya akan di olah oleh Perusahaan.
“Petani itu kan harus panen, yang artinya dalam dua minggu harus panen, Kalau sudah dipanen, itu 24 jam harus diproses, karena kalau tidak kualitasnya turun,” ujarnya.
Sementara, menurutnya ketidakpastian kapan berakhirnya larangan CPO ini, mengakibatkan perusahaan kelapa sawit (PKS) akan coba mengurangi pembelian, bahkan bisa sampai menghentikan pembelian kepada petani kelapa sawit.
“Kalau begitukan kita (petani) bergantung kepada perusahaan kelapa sawit,” katanya.
Ia mendesak agar pemerintah turun tangan mengatasi anjloknya harga sawit di tingkat petani. Sebab apabila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut dikhawatirkan membuat petani sawit termasuk di daerah terancam gulung tikar
“Di sinilah peran pemerintah harus mampu mengatur agar tidak merugikan petani kecil, seperti yang terjadi saat ini pada kasus CPO yang berujung ke harga sawit petani jatuh, petani terancam bangkut massal,” kata Bambang Purwanto.
Di samping itu, ia juga meminta pemerintah untuk segera melakukan penyesuaian tarif ekspor CPO yang saat ini dinilai masih terlalu tinggi, sehingga secara tidak langsung ikut memberikan dampak kepada petani sawit mandiri.
“Harga sawit tentu dipengaruhi oleh kondisi hilirnya di mana pajak ekspor dan penerimaan negara yang lain terlalu tinggi. Akibatnya eksportir gak mau rugi yang akhirnya dibebankan ke petani melalui harga sawit petani murah. Artinya pajak yang nanggung petani,” ucap dia.
Politisi Fraksi Demokrat ini menyatakan pemerintah harus ikut terlibat aktif guna menyelamatkan keberlangsungan industri sawit nasional, baik dari segi aturan dalam mata rantai industrinya.
Solusinya bukan hanya soal regulasi tapi harus ada tindakan intervensi, pemerintah harus masuk sampai ke pasar agar hulu sampai hilir masing-masing stake holder diuntungkan dan penerimaan negara menyesuaikan untuk sama-sama menjaga kelancaran industri sawit yang cukup potensial.
“Dalam kondisi yang darurat saat ini stop dulu sementara penerimaan negara agar mata rantai industri sawit kembali normal baru ditata ulang. Petani bisa terselamatkan,” tegas Bambang.
Lebih lanjut sambungnya, meski saat ini indonesia memiliki areal perkebunan sawit terbesar di dunia, namun dari segi pengelolaan industri hulu dan hilir dinilai masih kalah dari negeri jiran, termasuk dalam penentuan harga sawit dan CPO.
“Berbeda dengan Malaysia telah memiliki tata kelola sawit bagus sekali dan mereka bangun berbasis supply chain jadi sudah industri sifatnya. Melalui pola ini semua stake holder diuntungkan, makanya beli TBS petani lebih mahal dari negeri kita tercinta dan mereka lead soal harga CPO dunia,” pungkasnya.
Penulis: Yusro
Editor: Andrian