INTIMNEWS.COM, – Imam al-Ghazali dalam kitab Kimiya as Sa’adah, menempatkan hati sebagai hakikat ruh. Beliau menyebut hati sebagai bagian jenis malaikat. Karena, hati merupakan suatu bentuk yang abstrak bagi manusia atau tak dapat dilihat oleh panca indera.
Hati juga merupakan tempat memperolehnya pengetahuan hakiki setelah panca indera. Jika saja AllahSubhanahu Wata’ala tidak menciptakan hati bagi manusia, maka seseorang tidak akan mengetahui sesuatu sampai hakikatnya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala :
وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَـٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡـًٔ۬ا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَـٰرَ وَٱلۡأَفۡـِٔدَةَۙلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ (٧٨)
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.” (QS An-Nahl [16] : 78).
Ulama mengatakan hati merupakan tempatnya akal (fikiran), dan hati memiliki cahaya sebagai daya yangkarenanya akal bisa berfikir. (Lihat Kitab Jauhar at-Tauhid, Ibrahim al-Baijuri, hal-99).
Jadi, tanpa hati berserta cahayanya seorang manusia tidak dapat berfikir, serta tidak mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan. Oleh sebab itu, hati adalah instrumen terpenting dalam diri manusia.
Objeknya tidak hanya kepada hal-hal yang bersifat profan, namun nilai objektifitas dari hati adalah untuk mencapaiperkara yang bersifat spiritual dan sakral, seperti halnya ketulusan atau keikhlasan dan rasa syukur, bahkan untuk mengenal Allah Subhanahu Wata’ala (al-ma’rifah).
Oleh karena itu, tanpa mengupayakan hati dapat menjerumuskan manusia ke dalam lembah kesesatan. Hal ini terjadi ketika orang-orang musyrik mendustakan kebenaran Rasulullah Shalallahu ‘alahi Wassallam sehingga membawa mereka ke dalam azab yang pedih. Sebagaimana telah Allah abadikan di dalam Al-Quran:
خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ وَعَلَىٰ سَمۡعِهِمۡۖ وَعَلَىٰٓ أَبۡصَـٰرِهِمۡ غِشَـٰوَةٌ۬ۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ۬ (٧)
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka (musyrikin) dan penglihatan mereka di tutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 7).
Hati juga sarana vital dalam menerima suatu kebenaran. Seseorang tanpa mengupayakan hatinya dalam kebaikan maka akan terjatuh ke dalam kekufuran.
Hati sangat berpengaruh terhadap tindakan seseorang. Bila hatinya baik, maka baik pula perilakunya. Dan sebaliknya, jika hatinya keruh maka tindakannya pun buruk. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ
أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ
“Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati (jantung).” (HR. Bukhari, no. 2051 dan Muslim, no. 1599)
Seorang ulama mengatakan, “Hati adalah raja. Ketika yang merawatnya bagus maka rakyatnyapun bagus.” (Lihat Kitab Syarah Arba’in Nawawi, Yahya bin Syarafuddin, hal-29, hadis keenam).
Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id Al-Khudri R.A, Rasulullah ﷺ bersabda :
“Sepasang mata adalah petunjuk. Sepasang telinga adalah corong. Lisan adalah juru bicara. Kedua tangan adalah sayap. Perut adalah kasih sayang. Limpa adalah senyuman. Paru-paru adalah jiwa. Kedua pinggang adalah tipu daya. Dan hati adalah raja. Ketika rajanya bagus, maka rakyatnya pun bagus. Dan jika rajanya rusak maka rakyatnya pun rusak.” (HR Ibnu Hibban, Abu syaikh dan Abu Nu’aim).
Seorang ulama mengatakan, “Penglihatan, pendengaran dan indera pencium laksana daya kekuatan yang dilihat dan di pertimbangkan oleh jiwa. sedangkan hati adalah rajanya. Jika yang merawatnya baik maka baik pula rakyatnya.“ (Lihat Kitab Syarah Arba’in Nawawi, Yahya bin Syarafuddin, hal 29). (Hidayatullah)