INTIMNEWS.COM, SAMPIT – Anggota Komisi II DPRD Kotim M Abadi mengoreksi kebijakan pemerintah terkait surat keputusan hak guna usaha dan hak guna bangunan (HGB) di Kotawaringin Timur.
Kebijakan ini diharapkan ditinjau ulang karena banyaknya persoalan di dalamnya.
“Karena penting ini dilakukan karena besar dugaan apa yang banyak syarat yang tidak dipenuhi seperti yang di atur didalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria,” ujar Abadi, Jumat (22/1/2021).
Dalam UU No 5 Tahun 1960 Pasal 34 dijelaskan hak guna usaha hapus karena beberapa hal.
a. Jangka waktunya berakhir;
b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak
dipenuhi;
c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. Dicabut untuk kepentingan umum;
e. Diterlantarkan;
f. Tanahnya musnah;
g. Ketentuan dalam pasal 30 ayat 2,” kata anggota DPRD komisi II Kotim fraksi PKB M.Abadi.
Selain itu Abadi juga menjelaskan PP 40 tahun 1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak guna pakai seperti yang di atur di dalam pasal 2 yang dapat mempunyai hak guna usaha huruf A. Warga negara Indonesia B. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
“Mengingat aturan yang dimaksud selama ini khusus di Kotim seakan tidak berlaku karena salah satu contoh seperti ketentuan yang di atur didalam pasal 34 hurup B dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak
dipenuhi,” katanya.
Sementara syarat yang secara fakta tidak terpenuhi sesuai yang tertuang dalam surat edaran Kementerian Agraria tahun 2012 adalah kewajiban membangun plasma 20 persen, kemitraan atau pun bentuk kerja sama lainnya dan syarat tersebut juga diatur di dalam Pasal 720 KUH Perdata.
Di mana pasal itu berbunyi: Hak guna usaha adalah hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik tanah, sebagai pengakuan tentang pemilikannya, baik berupa uang maupun berupa hasil atau pendapatan.
Menurut Abadi, selama ini pemerintah seakan tutup mata dengan aturan tersebut. Bahkan di Kotim sebagian besar HGU berada dalam kawasan hutan. Sementara dalam pasal 4 ayat 2 PP 40 tahun 1996 bahwa harus dikeluarkan statusnya dari kawasan hutan
“Tapi selama ini pihak perusahaan perkebunan kebal hukum terhadap aturan tersebut. Bahkan dari pihak pemda setempat selalu mendalilkan dengan keterlanjuran agar perusahan tidak bisa terjerat hukum sementara sangat jelas aturan ini dikeluarkan di tahun 1996 dan menjadi dasar adalah UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1992 TENTANG PENATAAN RUANG,” kata Abadi.
Mengingat di Kalteng khususnya Kabupaten Kotim belum klin and klirnya penataan ruang maka HGU yang di Dikeluarkan harus merujuk dengan PP 40 tahun 1996. Karena di Kotim HGU dikeluarkan rata-rata di bawah tahun 1996 dan aturan ini perlu diperjelas apakah berlaku hanya untuk masyarakat atau untuk perusahan perkebunan besar swasta. Karena kata Abadi, jika tidak dijelaskan maka bisa berdampak negatif.
” Saya berharap kepada penegak hukum apabila ada sengketa lahan antara masyarakat dengan perkebunan sebelum melakukan pengawalan ketika terjadi pemortalan agar terlebih dahulu bisa melakukan pengecekan legalitas perusahan perkebunan. Agar menghindari tidak terjadinya bentrok antara penegak hukum dan masyarakat. Karena hal ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi apabila tidak kita luruskan,” tutupnya. (Adrianus)