INTIMNEWS.COM, PALANGKA RAYA – Pembukaan Festival Budaya Iseng Mulang (FBIM) yang dipusatkan di Bundaran Besar Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, 17 Mei 2022 sangat meriah. Sejumlah peserta FBIM menampilkan ciri khasnya masing-masing, termasuk dari Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Kalimantan Tengah.
KKSS yang ikut ambil bagian dari pagelaran budaya tersebut menampilkan pakaian khas Sulawesi Selatan yakni baju bodo dan songkok recca. Warnanya yang beragam, membuat kontestan dari KKSS menjadi salah satu pusat perhatian pengunjung FBIM.
Ketua KKSS Kalimantan Tengah, DR Andi Abustan AP mengatakan bahwa KKSS selalu ikut berpartisipasi dalam setiap even yang digelar. Menurutnya itu menjadi salah satu bentuk KKSS selalu memegang teguh filosopi “Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung”.
Andi Abustan mengatakan bahwa KKSS selalu ambil bagian dalam setiap kegiatan yang digelar oleh pemerintah, maupun masyarakat yang ada di Kalimantan Tengah. “Kita selalu terlibat, sebagai salah satu bentuk solidaritas sesama,” katanya.
Andi Bustan menjelaskan bahwa warga KKSS yang ada di Kalimantan Tengah cukup banyak dan tersebar merata di 14 kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah. Mereka kata Andi Bustan ada di Kalimantan Tengah dengan beragam profesi.
Sejarah Baju Bodo dan Songkok Recca
Ketika mendengar kata “baju bodo dan songkok recca”, tentunya tidak terlepas dari salah satu suku yang ada di daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Keduanya merupakan pakaian khas masyarakat Sulawesi Selatan.
Baju Bodo merupakan pakaian tradisional perempuan Sulsel yang juga dikenali sebagai salah satu busana tertua di dunia. Dimana menurut sumber yang kami peroleh bahwa baju bodo telah dikenal oleh James Brooke (yang kemudian diangkat sultan Brunei menjadi raja Sarawak) tahun 1840 saat dia mengunjungi istana Bone.
Menurut Sejarah, ilmu tekstil yang telah dikenal sejak zaman batu muda oleh nenek moyang membuat baju bodo begitu nyaman dikenakan. Baju ini sengaja dibuat dari bahan kain muslin (kasa). Kain ini adalah kain hasil pintalan kapas yang dijalin bersama benang katun. Rongga dan kerapatan benang yang cukup renggang, menjadikan kain ini sejuk dikenakan sehingga cocok dipakai di iklim tropis Sulawesi Selatan.
Sebagian masyarakat bugis menyebut juga baju bodo dengan nama bodo gesung. Alasannya adalah karena pakaian ini memiliki gelembung di bagian punggungnya. Gelembung tersebut muncul akibat baju bodo dikenakan dengan ikatan yang lebih tinggi.
Baju bodo merupakan baju tanpa lengan. Jahitan hanya digunakan untuk menyatukan sisi kanan dan kiri kain, sementara pada bagian bahu dibiarkan polos tanpa jahitan. Bagian atas baju bodo digunting atau dilubangi sebagai tempat masuknya leher. Lubang leher ini pun dibuat tanpa jahitan. Sebagai bawahan, sarung dengan motif kotak-kotak akan dikenakan dengan cara digulung atau dipegangi menggunakan tangan kiri.
Dan seiring dengan perkembangan zaman, kini kaum perempuan pemakainya menambahkan beragam pernik aksesoris seperti kepingan-kepingan logam, gelang, kalung, bando emas, dan cincin.
Songkok Recca merupakan jenis songkok yang terbuat dari serat pelepah daun lontar dengan cara dipukul-pukul dimana pelepah daun lontar tersebut hingga yang tersisa hanya seratnya. Serat ini biasanya berwarna putih, akan tetapi setelah dua atau tiga jam kemudian warnanya berubah menjadi kecoklat-coklatan. Untuk mengubah menjadi hitam maka serat tersebut direndam dalam lumpur selama beberapa hari.
Jadi serat yang berwarna hitam itu bukanlah karena sengaja diberi pewarna sehingga menjadi hitam. Serat tersebut ada yang halus ada yang kasar, sehingga untuk membuat songkok recca’ yang halus maka serat haluslah yang diambil dan sebaliknya serat yang kasar menghasilkan hasil yang agak kasar pula tergantung pesanan.
Untuk menganyam serat menjadi songkok menggunakan acuan yang disebut Assareng yang terbuat dari kayu nangka kemudian dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai songkok. Acuan atau assareng itulah yang digunakan untuk merangkai serat hingga menjadi songkok. Ukuran Assareng tergantung dari besar kecilnya songkok yang akan dibuat.
Pemberian nama songkok recca ini karena bahan utamanya yang hendak di anyam sebelumnya telah dipuku-pukul dimana dalam bahasa bugis (Buginese) berarti “direcca-recca”. Menurut sejarah yang dikenal, Songkok recca (juga dikenal dengan nama songkok to Bone) muncul di masa terjadinya perang antara Bone dengan Tanah Toraja sekitar tahun 1683 silam. Pasukan Bone pada waktu itu menggunakan Songkok Recca sebagai tanda untuk membedakan pasukan Bone dengan pasukan Tanah Toraja.
Kemudian pada zaman pemerintahan Andi Mappanyukki (raja Bone ke-31), songkok recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring pulaweng) yang menunjukkan strata sipemakainya.
Editor: Akhiruddin