Oleh: Sahabudin Letsoin
Aroma filsafat selalu menawarkan magis, yang menghipnotis manusia untuk menentukan jalan apa yang dilalui dalam mengarungi hidupnya. Aroma filsafat secara umum kita kenal datangnya dari dua arah: materialisme yang inderawi, dan idealisme yang berbasis akal. Masing-masing dari itu bermetamorfosa menjadi amuba, berkembang biak membentuk sub-sub aroma, yang khas: eksistensialisme, nihilisme, absurdisme, rasionalisme, positivisme, fenomenologi dan lain-lain. Ada pula yang kawin, melebur menjadi satu-kesatuan yang anti perceraian, semisal kritisisme mazhab Immanual Kant.
Pada dasar etimologinya, filsafat apapun itu tentu mengarahkan manusia pada kebajikan, dalam menyikapi hal paling kecil, sampai persoalan yang sangat besar sekalipun. Sedangkan terminologi filsafat menjelaskan tentang pencarian manusia mengenai suatu kebenaran yang mustahil selesai, sebab pengetahuan itu punya kedalaman, seperti kegelapan yang membatasi penglihatan.
Arah pencarian manusia itu menuju pada hal-hal yang aksiologis, bernilai guna, semisal dalam epistimologi ilmiah, hasil-hasil riset, sintesis pengetahuan yang diperoleh mempunyai impek secara teoritis dan praksis. Namun selaras dengan pernyataan Nietzsche, manusia mempunyai kehendak untuk berkuasa, artinya manusia memiliki sisi basharia yang membabi buta, yakni serakah.
Inilah muasal meletusnya revolusi-revolusi di dalam sejarah umat manusia, di mana gesekan-gesekan antara mereka yang serakah dan mereka yang dikeruk meletus. Sejarah menunjukkan fakta demikian, tapi ketika kita melihat masa saat ini, daya hisap orang-orang yang haus darah itu mengarah ke persoalan lingkungan, serta perihal sosial yang agaknya tak tampak. Dari segelintir masalah itu, yang ingin saya angkat di sini adalah eksploitasi lingkungan yang menggila-gila untuk mendatangkan profit, yang saya sebut sebagai virus ekonomi.
Dalam ranah pemikiran, suatu gagasan radikal muncul sebagai kontra terhadap pandangan realitas yang melukai perasaan alam semesta. Kosmos mini yang saya angkat di sini tentu melingkupi martabat manusia, dan juga kelestarian lingkungan. Pikiran berakar yang datang membatasi keserakahan orang-orang di langit kelam itu disebut filsafat romantisisme. Praktek dari filsafat romantisisme disebut juga dengan gerakkan kesenian untuk menumpas penindasan, di mana dalam kesejaharahannya tak terlepas dari datangnya Revolusi Industri.
Saya ulangi, kata kunci virus ekonomi modern muncul seiring lahirnya Revolusi Industri yang beranak-pinak dari fase satu ke fase lainnya, yang sekarang telah memasuki era kompleksitas digital. Bisnis modern mempunyai sisi remang-remang, disebabkan oleh persaingan yang sekarat dan meredupnya nurani manusia, para pebisnis itu.
Kata Almas, “romantik berfokus pada emosi, perasaan, dan berbagai macam suasana hati, seperti spiritualitas, imajinasi, misteri, dan semangat perjuangan”. Telah menjadi rahasia umum, ekspresi emosional tentang tubuh, sejarah, alam semesta, dan objek lainnya yang mampu menggugah seorang seniman. Maka romantisisme bukan hanya sekedar gagasan, namun suatu gerakan yang diaktori oleh para seniman, di mana mereka mengajak umat manusia untuk kembali ke alam, menyayangi sesama manusia, mengasihi alam. Itulah tugas khalifah fil ard dalam teologi Islam. Ekspresi perlawanan yang mereka gaungkan lewat ragam kesenian: lukisan, puisi, lagu, cerita dan pertunjukkan, serta serumpunnya.
Contohnya sajak Goenawan Mohamad yang berjudul “Misalkan Kita di Sarajevo”, yang menggambarkan suasana nestapa kemanusiaan yang terjadi di Bosnia karena peperangan. Atau puisi lingkungan, konflik agraria yang saya gubah sendiri dengan identitas “Senjakala yang Tak Selesai”. Lukisan-lukisan masyhur dari Eropa kebanyakan pun mencoba menampilkan perasaan manusia dan lingkungan, miniatur kosmik yang merespon datangnya perubahan-perubahan.
Semua kita semestinya memahami perasaan alam semesta, sebab di sana, hidup dan mati, eksis dan punahnya umat manusia dipertaruhkan: kita adalah bagian dari perasaan alam semesta itu. Mengilhami kesenian sebagai perlawanan tak serta-merta menyerat kita ke dalam pemahaman romantisisme, namun bagi saya, itu merupakan kondisi alamiah yang dipertontonkan emosi dan perasaan manusia. Meresapi perasaan alam semesta, sama halnya dengan mempersiapkan kehidupan yang indah untuk generasi di masa mendatang.