
INTIMNEWS.COM, PALANGKA RAYA – Kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan pemerintah pusat lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 mendapat sorotan dari kalangan akademisi, salah satunya Suherman, SE., ME, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Palangka Raya (UPR).
Menurutnya, langkah pemerintah dalam mengoptimalkan efisiensi anggaran di berbagai kementerian dan lembaga haruslah dilaksanakan dengan cermat dan penuh tanggung jawab.
Diketahui saat ini salah satu aspek yang akan terdampak efisiensi anggaran adalah dunia pendidikan. Saat ini masyarakat banyak mengeluhkan kekhawatirannya apabila eksekusi dari efisiensi anggaran berdampak terhadap beasiswa bagi anak-anak yang sedang menempuh pendidikan.
Suherman mengatakan jika hal yang dikhawatirkan masyarakat tersebut belum tentu terjadi. Ia menilai kemungkinan adanya pengurangan bantuan beasiswa dari pemerintah masih kecil terjadi.
“Kalau efisiensi ini sampai mengurangi atau menghambat penyaluran KIP itu sepertinya kecil kemungkinannya ya. Karena belum ada statement pemerintah resmi bahwa KIP dikurangi atau kena efisiensi,” ucapnya kepada Intimnews, Minggu 16 Februari 2025.
Ia menyebut pemerintah tidak bisa menjadikan pendidikan jadi faktor sekunder atau cadangan. Mengingat untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 harus ditopang oleh SDM yang berkualitas, yang salah satunya dilihat dari kualitas pendidikan.
“Kalau pendidikan dipandang remeh dan tidak jadi prioritas utama, pasti kedepannya SDM Indonesia juga terancam berkurang kualitasnya,” tegas Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan tersebut.
Ia menjelaskan bahwa efisiensi anggaran prinsipnya ingin mengurangi pengeluaran yang tidak perlu.
“Item-item tertentu seperti belanja ATK yang kadang boros dan berlebihan dan pengeluaran lainnya yang masih bisa diefisienkan. Tapi jangan sampai ada pengeluaran penting lainnya yang justru dikorbankan,” tuturnya.
“KIP mahasiswa sepertinya tidak kena efisiensi, tapi dosen dosennya hampir bisa dipastikan kehilangan beasiswa BPI, yang biasanya diperuntukkan untuk dosen lanjut S3. Jadi sangat disayangkan, kalau hal ini sampai terjadi,” sambung Suherman menjelaskan.
Ia menekankan pemerintah tidak boleh tebang pilih. Anggaran pendidikan tinggi memang boleh diefisienkan dengan mengurangi postur pengeluaran yang boros, tapi tidak boleh mengurangi postur-postur yang fungsinya untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar. Termasuk kualitas Mahasiswa ataupun Dosen dalam perguruan tinggi.
Mengenai alasan efisiensi anggaran untuk program MBG (Makan Bergizi Gratis), menurut Suherman alasan tersebut tidak adil dan tidak efektif.
“MBG itu menurut saya juga program penting, tapi mestinya implementasinya harus dimulai dari wilayah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) dulu,” ucapnya.
“MBG kan targetnya siswa, jangan sampai siswa bisa kenyang saat makan siang tapi makan malam tidak bisa karena nasib orang tuanya yang kebetulan tenaga kontrak dirumahkan atau dipecat setelah ada efisiensi,” lanjut Suherman memaparkan.
Ia menyebut pemerintah harus lebih hati-hati dan pelan-pelan dalam mengimplementasikan MBG ini.
“Karena kalau tidak ada perencanaan yang matang, bisa- bisa nanti multiplier effectnya tidak baik bagi perekonomian secara luas. MBG ini implikasinya ke penggunaan anggaran yang besar sekali. Kata menteri keuangan kayak ngadain hajatan tapi hajatannya tiap hari,” bebernya.
Akademisi UPR ini berharap MBG diimplementasikan pelan-pelan sambil mempersiapkan sumber pendanaan yang lebih besar tanpa harus banyak mengurangi anggaran, khususnya pendidikan tinggi.
“Beberapa waktu terakhir ini dosen-dosennya teriak soal hak-hak mereka yang belum dipenuhi soal tunjangan kinerja,” katanya.
Sementara bagi pembangunan Infrastruktur nasional dan Kalimantan Tengah (Kalteng), Suherman menyebut dampak dari efisiensi anggaran pasti ada.
“Pasti ada penghematan anggaran dari berbagai aspek, termasuk pengeluaran untuk infrastruktur. Dana yang diterima daerah dari pusat kan jadinya kena efisiensi juga, jadi pasti rencana rencana pembangunan di Kalteng yang perlu disesuaikan kembali,” urainya.
Meskipun ada efisiensi anggaran di berbagai sisi , ia berharap pembangunan infrastruktur nasional dan Kalteng harus tetap jalan.
“Pendidikan dan infrastruktur itu adalah harga mati bagi sebuah negara,” tegasnya.
“Tanpa pendidikan berkualitas, SDM Indonesia Emas 2045 bisa terancam. Tanpa Infrastruktur berkualitas juga negara kita tidak mungkin bisa mencapai mimpi Indonesia Emas 2045,” sambung sang dosen.
Ia mengingatkan kembali jika efisiensi anggaran harapannya bukan hanya sebatas mengurangi pengeluaran yang tidak perlu, tapi juga dipergunakan untuk membangun ekosistem pembangunan yang lebih adil dan tepat sasaran untuk semua sektor.
Editor: Andrian